
Oleh: Khairani
Suara USU, Medan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dalam rapat paripurna pada Kamis (20/03). Keputusan ini menuai sorotan publik yang mempertanyakan relevansi aturan baru ini dengan amanat Reformasi 1998, yang bertujuan membatasi peran militer dalam ranah sipil.
Revisi UU TNI membawa sejumlah perubahan signifikan, termasuk tambahan kewenangan bagi TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), perluasan jabatan sipil yang dapat diisi prajurit aktif, serta kenaikan batas usia pensiun bagi personel militer.
Poin-Poin Utama Revisi UU TNI
1. Tambahan Tugas OMSP
- TNI kini memiliki kewenangan menangani ancaman siber.
- TNI bertugas melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
2.Penempatan Prajurit Aktif di Jabata n Sipil
- Jumlah instansi yang bisa ditempati prajurit aktif bertambah dari 10 menjadi 16, termasuk Kejaksaan RI, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
- Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran militer dalam pemerintahan sipil, yang bertentangan dengan amanat Reformasi 1998.
3. Perubahan Usia Pensiun
- Bintara dan Tamtama pensiun pada usia 55 tahun.
- Perwira hingga Kolonel pensiun pada usia 58 tahun.
- Perwira tinggi bintang satu: 60 tahun, bintang dua: 61 tahun, bintang tiga: 62 tahun, dan bintang empat: 63 tahun, dengan opsi perpanjangan oleh Presiden hingga dua kali setahun.
Salah satu poin utama yang menuai kritik adalah pasal yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di instansi sipil. Hal ini dianggap berpotensi mengembalikan peran militer dalam kehidupan sipil, sebagaimana terjadi di era Orde Baru dengan doktrin Dwifungsi ABRI. Sejumlah pakar menilai bahwa aturan ini bisa menghambat profesionalisme militer dan melemahkan prinsip supremasi sipil.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, dikutip dari CNN Indonesia, menyebut bahwa revisi ini “tidak memiliki urgensi dan dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.”
Proses pembahasan RUU TNI turut menuai kritik publik karena dianggap kurang transparan dan minim partisipasi publik. Sejumlah kelompok masyarakat sipil mengungkapkan bahwa mereka tidak diberi akses yang memadai terhadap rancangan regulasi ini sebelum disahkan. Dikutip dari Antikorupsi.org, banyak pihak menilai bahwa pembahasan undang-undang ini dilakukan secara terburu-buru tanpa kajian yang mendalam.
Selain itu, perluasan kewenangan TNI dalam menangani ancaman siber dan melindungi kepentingan nasional di luar negeri juga menimbulkan kekhawatiran akan adanya tumpang tindih tugas dengan lembaga sipil lainnya, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Kementerian Luar Negeri. Beberapa pengamat pertahanan menilai bahwa TNI harus tetap fokus pada tugas utamanya dalam menjaga pertahanan negara daripada mengambil alih peran yang seharusnya diemban oleh institusi sipil.
Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, dalam keterangannya yang dilansir dari Antara News, menyatakan bahwa revisi ini disusun untuk memperjelas tugas dan kewenangan TNI dalam menghadapi ancaman modern. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada unsur dwifungsi TNI dalam revisi ini. Sementara itu, Ketua DPR, Puan Maharani, dikutip dari Kompas.id, menegaskan bahwa perubahan UU TNI tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia.
Di sisi lain, berbagai aksi protes dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa di beberapa kota besar, menolak pengesahan RUU ini. Dikutip dari Detik News, massa aksi di Jakarta menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan bangkitnya kembali dominasi militer dalam pemerintahan sipil. “Kita nggak punya draf resmi, tapi tiba-tiba disahkan. Ini bentuk kemunduran demokrasi,” ujar salah satu demonstran.
Redaktur: Jesika Yusnita Laoly
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.