
Oleh: Fatih Fathan Mubina
Suara USU, Medan. “Tidak apa ya Tuhan, kami menunggu pengadilan selanjutnya. Tidak apa seluruh harta kami direnggut. Sungguh, tidak apa Tuhan. Hamba hanya meminta satu hal, izinkan hamba membesarkan adik hamba dengan baik,” ucap Gasar lirih, nyaris tak terdengar di antara sorak-sorai ruangan sidang. Sorot matanya kosong menatap meja hijau yang selama dua bulan ini menjadi tempatnya berjuang.
Ia melihat jam tangan coklat peninggalan ayahnya, menarik napas panjang berulang kali, sebelum akhirnya meninggalkan ruang sidang dengan langkah berat. Putusan hakim sudah bisa ditebak. Penolakan tuntutan. Perusahaan besar itu tetap melenggang tanpa hukuman, dan para korban tetap terabaikan.
Sepatu coklat usangnya berbunyi pelan di lantai dingin gedung pengadilan. Sepatu yang juga peninggalan terakhir sang Ayah, sosok yang dulu selalu berkata bahwa keadilan pasti ada bagi mereka yang bersabar. Namun, di dunia nyata, keadilan tampaknya lebih berpihak pada mereka yang punya kekuasaan.
Di luar gedung, Gasar bergegas menuju sepeda lusuh milik pamannya. Udara pagi menyengat pori-porinya saat ia mengayuh perlahan, melintasi sudut-sudut desa yang kini terasa asing. Sesekali, tatapannya mengarah ke sudut jalan tempat para pengungsi berjejal di bawah tenda-tenda darurat. Dua bulan, sudah selama itu Gasar menjadikan terpal-terpal biru sebagai tujuan untuk dia kembali. Tempat yang kini ia sebut rumah.
Tumpukan baju dan celana yang diletakkan seadanya. Meski jauh dari kehidupan layak, para pengungsi berdesak-desakan demi sepetak tempat di bawah terpal biru. Setidaknya mereka bisa tertidur meski harus berselimut pahitnya kenyataan. Gasar menunduk dalam. Menatap tempat itu dengan mata menerawang. Entah kapan hidupnya berangsur normal. Sekadar toilet pun harus berbagi bersama ratusan pengungsi yang antriannya mengular tanpa henti sepanjang hari. Ia parkirkan sepeda lusuh milik sang paman. Melangkah menyusuri tenda-tenda darurat.
Adiknya masih terlelap di atas tikar coklat yang tipis. Nafasnya teratur, seolah-olah ia sedang bermimpi tentang dunia yang lebih baik, dunia di mana mereka masih punya rumah, punya ayah dan ibu. Gasar merindukan suara tawa adiknya, yang kini telah menghilang selama dua bulan terakhir. Dua bulan yang memaksanya bekerja dari ayam berkokok hingga matahari tenggelam, hanya untuk memastikan mereka bisa makan.
“Bang, ayo mancing di sungai Pak Tani!” seru bocah itu dulu dengan tawa kecilnya.
“Dibilang jangan ngomong di tengah pintu, ish! Orang lewat gimana nanti?” sahut Gasar dengan nada pura-pura kesal.
“Biarin, Bang! Orang itu nunggu aku selesai ngomong!” bocah itu membalas dengan tawa ringan, menggoyangkan kakinya di ambang pintu.
Gasar yang saat itu sedang mengerjakan PR hanya melirik sebentar, lalu mengusirnya pergi dengan isyarat tangan. “Ah, Abang gak asik!” protesnya sebelum akhirnya berjalan menjauh.
Tak ada yang tahu bahwa ajakan memancing sore itu adalah ajakan terakhirnya. Jika saja Gasar tahu, ia pasti akan mengabaikan PR-nya dan memilih menghabiskan sore itu bersama sang adik. Tapi waktu tak bisa ia ulang kembali.
Hari itu, langit Desa Rising begitu biru, seolah tak ingin memberi isyarat apapun tentang malapetaka yang akan datang. Gasar masih mengingat dengan jelas bagaimana semuanya terjadi.
Malam itu, ia dan adiknya menginap di rumah seorang teman untuk mengerjakan tugas sekolah. Ayah dan ibu berada di rumah, tanpa menyadari bahwa itu adalah malam terakhir mereka. Pagi hari ketika Gasar terbangun, suara berita dari televisi memenuhi ruangan.
“Longsor besar terjadi di Desa Rising, Kecamatan Ropong, Kabupaten Arjo.”
Adiknya, yang masih setengah mengantuk, menatap layar televisi dengan mata berbinar. “Eh, Bang! Itu tempat kita masuk TV!” katanya girang.
“Iya, iya… biasa aja kali,” Gasar menanggapinya dengan santai, matanya masih fokus pada ponselnya.
Sampai tiba-tiba wajahnya memucat. Gambar di layar televisi menunjukkan rumah-rumah hancur, lumpur mengalir seperti lahar neraka, menyapu desa mereka hingga rata dengan tanah. Tidak ada yang tersisa.
“Sampai saat ini, 1.000 korban telah dievakuasi. Beberapa ahli berasumsi bahwa lebih dari 10.000 warga menjadi korban. Demikian laporan langsung dari Desa Rising,” jelas wartawan berita.
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam jantungnya. Ia membanting ponsel dan berlari keluar, mengabaikan panggilan temannya. Perjalanan menuju desa terasa seperti selamanya, dan saat ia tiba, yang tersisa hanyalah puing-puing dan kesunyian. Ayah dan ibu tidak pernah ditemukan. Rumah mereka hilang tanpa jejak. Dan sejak saat itu, hidup Gasar dan adiknya berubah.
Tak tahan, Gasar kembali melangkah pergi. Mengayuh sepedanya dengan hati gusar. Namun, perjalanannya kembali terhenti di depan sebuah bangunan kayu. Gasar melihat seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam berdiri di seberang jalan, berbicara dengan seorang wanita muda berpakaian senada.
“Bapak diminta meninggalkan rumah ini secepatnya,” ucap pria itu dengan suara tegas.
Pria berjas hitam seperti itu dulu pernah datang ke rumahnya, meminta orang tuanya pergi dengan alasan demi kepentingan negara. Saat itu ia masih berumur 17 tahun. Gasar masih mengingat dengan jelas ketika tanpa sengaja mendengar pecakapan orangtuanya di ruang tamu bersama orang asing. Pria itu meminta mereka untuk segera meninggalkan rumah. Alasannya? Temuan cadangan minyak bumi bernilai triliunan rupiah di pegunungan yang terletak tidak jauh di belakang rumah mereka.
Pria itu mendongeng sampai mulutnya berbusa. Menjelaskan kepada orang tuanya, mulai dari keuntungan fiskal yang didapatkan negara hingga ancaman nyawa yang mengintai keluarga Gasar apabila menolak. Namun, ayah Gasar tetap teguh. Brak! Pintu dibanting dengan keras saat pria itu akhirnya pergi. Sang ayah, dengan ketenangan yang masih terjaga, tersenyum lembut ke arah ibu. “Kita akan baik-baik saja,” katanya, seolah ingin meyakinkan. Tapi kenyataannya? Mereka tidak baik-baik saja.
Keesokan harinya, suara bor menggelegar, mengguncang tanah yang selama ini mereka pijak dengan penuh keyakinan. Di antara kerumunan, pria berjas hitam yang kemarin mendatangi rumah Gasar berdiri dengan angkuh. Wajahnya tanpa ekspresi, dingin, dan tak tergoyahkan, seolah nyawa dan harapan warga tak lebih dari angka di atas kertas. Ia dikelilingi oleh orang-orang bersetelan serupa, berdiri tegap dengan kesombongan yang sama.
Di hadapan mereka, warga berunjuk rasa dengan penuh amarah, membela tanah yang menjadi bagian dari hidup mereka. Namun, protes itu hanya dijawab dengan pentungan. Teriakan perlawanan dibungkam dengan kekerasan. Gasar menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang dipukuli tanpa ampun, dituduh sebagai provokator hanya karena berani melawan.
Hingga akhirnya, bencana itu datang, bencana yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Lahar panas, tersusun dari zat vulkanik aktif, mengalir deras dan menyapu pemukiman tanpa ampun. Tanah di sekitar lereng gunung luruh, menelan segalanya dalam hitungan detik. Akibat dari keserakahan manusia yang mengabaikan peringatan alam dan kehidupan orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
Pak Tua, seorang pengacara yang membantunya dalam perjuangan hukum, menatap Gasar yang baru saja tiba di depan rumahnya dengan senyum kecil.
“Aku ke sini ingin menyarankan banding, Pak Tua,” ucap Gasar sambil meletakkan koran di atas meja kayu.
Pak Tua menghela napas. “Nak, bukan aku tidak ingin membantumu. Tapi cobalah terima kenyataan bahwa jalur hukum tidak memungkinkan dalam waktu dekat. Percayalah pada waktu. Mungkin bukan sekarang, bukan besok, atau bahkan setahun yang akan datang. Mereka pasti menerima pengadilannya, Nak. Keadilan pasti datang.”
“Lalu, selama menunggu keadilan itu datang, apa yang harus kita lakukan? Berdiam diri saja menerima kekalahan? Menunggu kompensasi yang tak kunjung datang? Atau berharap pengadilan sadar? Selama menunggu itu semua, apa yang harus kita lakukan, Pak Tua? Tolong jawab pertanyaanku!” nada suaranya meninggi, penuh amarah.
“Nak, menunggu bukan berarti kalah. Menunggu berarti mencari kesempatan yang lebih baik. Lakukanlah kebaikan selama menunggu. Jalani hidupmu dengan khidmat. Kadang, keadilan datang dalam bentuk lain.”
Gasar mengepalkan tangannya. “Aku tahu aku aku keras kepala, menentang tuntutan sederhana karena aku ingin mereka membayar lebih. Aku ingin melihat mereka jatuh,” Gasar menunduk.
“Tapi, tapi aku juga lelah,” air matanya lolos tanpa bisa ia cegah.
Gasar mengusap air matanya dengan kasar. Teringat bagaimana dirinya dulu, melempar batu ke mobil perusahaan, berharap bisa membalas dendam. Ia teringat bagaimana dirinya menerobos kantor pemerintahan, berteriak dan meracau, menanyakan nasib orang tuanya.
Tapi semua itu tidak mengubah apapun.
Kini, ia hanya bisa berharap. Bahwa suatu hari nanti, keadilan akan datang.
Pak Tua menepuk bahunya. “Nak, hidupmu harus tetap berjalan. Adikmu menunggu.”
Gasar menarik napas panjang.
“Saat ini ucapanmu terdengar seperti filsuf dibanding ahli hukum, Pak Tua. Tapi baiklah, mari kita tunggu pengadilan yang akan datang,” ucapnya sambil tersenyum getir.
Tuhan, inikah jawaban-Mu? Dengan seluruh kemungkinan yang ada, hamba berterima kasih kepada-Mu. Sungguh. Gasar bergumam kecil.
Dengan langkah lebih ringan, ia keluar dari kantor Pak Tua. Sepedanya penuh dengan koran yang harus diantar. Di atas sepeda yang usang, pagi itu ia kembali mengayuh, membawa harapan bahwa keadilan akan tiba dalam bentuk apapun.
Ia tidak tahu kapan. Tapi ia percaya.
Tuhan pasti mendengar.
Redaktur: Jesika Yusnita Laoly
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.