Air yang Terkekang: Ancaman Surplus dan Defisit Hidrologi hingga Perubahan Iklim di Indonesia

Reporter: Tsabitah Syafanaura Kurniawan

Suara USU, Medan.Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, mengalami perubahan iklim dalam berbagai bentuk, termasuk kenaikan suhu global, pola hujan yang tidak teratur, dan peningkatan intensitas kejadian ekstrem. Semua ini memberikan tekanan serius terhadap siklus hidrologi, sumber daya air, dan keberlanjutan ekosistem.

Perubahan iklim telah membawa dampak serius pada siklus hidrologi, yang merupakan elemen kunci dalam menjaga keseimbangan ekosistem di Indonesia. Namun, pada saat ini, air menjadi sumber masalah. Ketersediaan air dapat mengalami penurunan dalam rentang beberapa bulan, mengakibatkan kekeringan yang membawa dampak krisis pangan, kebakaran, krisis ekonomi, dan masalah kesehatan.

Sebaliknya, air juga bisa datang secara tiba-tiba dengan jumlah yang besar, menyebabkan banjir dan longsor. Negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya air ini menghadapi tantangan besar ketika terjadi gangguan pada siklus hidrologi sebagai akibat dari perubahan iklim global.

Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, kembali dihadapkan pada tantangan serius yang menghantui sebagian besar wilayahnya pada tahun 2023 — kekeringan. Kondisi ini disebabkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan, diperparah dengan pengaruh fenomena El Nino. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat rerata suhu udara Indonesia pada bulan Juli 2023 mencapai 26,7 derajat Celsius, menunjukkan peningkatan sekitar 0,5 derajat Celsius dibandingkan dengan periode 1991-2020.

Lantas disebagian daerah lain di Indonesia mengalami kebalikannya, ketika air hujan didambakan, justru menjadi bencana. Surplus air terjadi akibat hujan yang terus menerus turun. Penanganan air yang tidak tepat menyebabkan terjadinya berbagai bencana seperti banjir diberbagai level baik di daerah perumahan, perkotaan, hingga terganggunya DAS yang menyebabkan meluapnya air sungai, abrasi pantai, hingga pulau-pulau yang terancam tenggelam

Lebih dari 80 pulau terdepan terancam tenggelam akibat kenaikan air laut yang semakin cepat. Ancaman ini bukan hanya sekadar peristiwa alam biasa; lebih jauh lagi, ini mengancam kedaulatan negara karena konsep kedaulatan kita diukur dari pulau-pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan negara lain. Meskipun secara matematis jumlah penduduk di pulau terdepan lebih sedikit daripada di pulau-pulau besar, namun prinsip Republik Indonesia tidak hanya memperhatikan wilayah yang padat penduduk. Republik ini didirikan untuk seluruh warga yang berada di tanah air. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan kesulitan yang dihadapi oleh warga pesisir, dan sikap acuh seperti ini harus dihentikan.

Akar masalah yang sangat nyata dan menjadi salah satu tantangan terbesar saat ini adalah krisis iklim. Sudah waktunya kita menyebut kondisi ini sebagai “krisis iklim” daripada sekadar “perubahan iklim.” Pentingnya kata ‘krisis’ menekankan eskalasi masalah ini. Istilah “perubahan iklim” sering dijadikan alasan bahwa masalah ini masih di masa depan, padahal Indonesia termasuk negara yang sangat rentan terhadap dampak krisis iklim.

Meskipun telah ada berbagai komitmen tinggi untuk menangani krisis iklim, sayangnya pencapaian kita masih belum mencapai tingkat yang diharapkan. Environmental Performance Index (EPI) menempatkan Indonesia pada peringkat 164 dari 180 negara, mencerminkan tidak hanya kinerja yang rendah tetapi juga kurangnya prioritas terhadap kesejahteraan warganya. Dampaknya terlihat jelas di wajah warga pesisir yang mengalami abrasi, petani yang meratapi kegagalan panen karena curah hujan yang tidak menentu, dan kegundahan komunitas adat yang kehilangan hutan mereka atas nama pembangunan.

Hutan memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan siklus ekologi-hidrologi. Kemampuan hutan untuk menyerap air hujan dan menyimpannya di dalam tanah, serta proses penguapan air yang dapat membantu menurunkan suhu udara, menjadikan hutan sebagai elemen utama dalam menjaga kestabilan siklus tersebut.

Namun, perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman merubah dinamika siklus tersebut secara signifikan. Lahan pertanian dan pemukiman memiliki kapasitas penyimpanan air yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan. Dampaknya, air hujan lebih banyak yang mengalir di permukaan tanah dan menguap kembali ke atmosfer. Selain itu, perubahan ini juga berkontribusi pada berkurangnya penguapan air. Penurunan jumlah vegetasi yang dapat menyerap sinar matahari menyebabkan berkurangnya penguapan air, yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan kandungan uap air di atmosfer.

Sekali lagi, atas nama pembangunan

Ironisnya, ketika krisis iklim menunjukkan ancaman nyata, dan pulau-pulau terdepan serta daerah pesisir berisiko terhadap abrasi, kebijakan yang diambil justru sebaliknya, seperti mengizinkan ekspor pasir laut. Tak hanya itu pembangunan besar besaran dengan membuka lahan secara ekspansif justru didukung dan dikomersialisasikan dengan dalih dalih mendukung kebangkitan ekonomi. Target yang tinggi ternyata tidak sejalan dengan kebijakan yang penuh inkonsistensi. Kita perlu berani mengakui bahwa manusia adalah penyebab utama krisis iklim, dan solusinya harus difokuskan pada pengelolaan interaksi manusia dengan alam.

 

 

 

Related posts

Nilai Akademis yang Tinggi atau Pengalaman yang Banyak, Mana yang Lebih Menentukan Karier?

Kita Balas di Semester Depan: Wacana yang Tak Kunjung Terlaksana

Mendekati UAS, Tugas Semakin Ganas: Mengapa?