Memaksa Diri, Lingkungan Toxic Kuliah Wajib Dihindari

(Ilustrator: Elizabeth Rusida Yosephine Br Tamba)

Reporter: Rekisha Ainur Ramadani

Suara USU, Medan. Menentukan batas dalam setiap hubungan itu penting, terlebih ketika kita berbicara mengenai lingkungan perkuliahan yang acapkali toxic. Memaksakan diri untuk berteman dengan lingkungan atau orang yang toxic bisa membawa dampak negatif yang cukup serius.

Perkuliahan seharusnya menjadi periode di mana seseorang bisa tumbuh secara akademis, sosial, dan pribadi. Idealnya, ini adalah masa di mana kita dapat bertemu dengan individu-individu yang memiliki pemikiran serupa atau bahkan berbeda yang dapat memperkaya perspektif kita sebagai mahasiswa. Namun kenyataannya, tidak semua lingkungan perkuliahan mendukung hal tersebut, beberapa mahasiswa mungkin akan menemukan diri mereka terjebak dalam lingkungan yang toxic, terlebih sedari awal memang sudah berada dalam ruang lingkup tersebut. Pertemenanan yang seharusnya saling memberikan dukungan, malah memberikan tekanan emosional dan mental.

Secara mental, lingkungan toxic bisa menurunkan rasa percaya diri, takut berbicara, memicu stres, bahkan hingga depresi. Secara akademis, tekanan yang ditimbulkan dari lingkungan toxic bisa mengganggu konsentrasi dan motivasi dalam belajar, seperti malas pergi ke kampus dan kurang aktif dalam proses pembelajaran yang berakhir memengaruhi prestasi akademis kita.

Seseorang mungkin merasa terpaksa untuk berteman dengan orang-orang tertentu demi menjaga image sosial, takut terisolasi, atau karena faktor peer pressure. Namun sangat penting untuk mengingat bahwa berkualitasnya sebuah interaksi akan jauh lebih penting daripada kuantitasnya. Memiliki sejumlah kecil teman yang mendukung, yang memahami dan menghargai kita sebagai individu akan sangat lebih berharga daripada berada di tengah banyak orang yang membuat kita merasa tidak nyaman, terintimidasi serta tidak dihargai.

Langkah pertama untuk tidak memaksakan diri dalam lingkungan toxic ialah dengan mengenali beberapa tanda-tandanya. Beberapa tanda lingkungan toxic antara lain adalah ketika kamu merasa selalu diturunkan, diacuhkan, ditertawakan, dirundung, atau ketika lingkungan tersebut membuat kamu merasa tidak pernah cukup baik. Setelah itu cobalah untuk menjauhi atau setidaknya membatasi interaksi dengan lingkungan atau individu-individu yang menyebabkan perasaan tersebut.

Mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk berkata “tidak” juga sangat penting. Perlu diingat bahwa kamu memiliki hak untuk memilih siapa yang bisa masuk ke dalam lingkaran sosial kamu, dan kamu tidak berhutang apapun kepada mereka yang membuat kamu merasa buruk tentang diri sendiri.

Pada akhirnya, menjaga kesehatan mental dan emosional diri sendiri adalah hal yang terpenting. Pendidikan tinggi adalah investasi besar, baik secara waktu maupun finansial, dan seharusnya tidak dirusak oleh pengalaman-pengalaman toxic yang dapat dihindari. Mencari dukungan, baik dari teman-teman yang sehat secara sosial atau dari profesional, bisa sangat membantu dalam menjaga kesejahteraan kamu di lingkungan perkuliahan.

Kesimpulannya adalah walaupun terasa sulit untuk keluar dalam lingkungan toxic, sangat penting untuk mengambil langkah menjauhi lingkungan atau individu toxic dalam perkuliahan. Menghargai diri sendiri dan kesehatan mental diri sendiri harus selalu menjadi prioritas utama sehingga kita dapat terus berkembang dan menoreh prestasi.

Redaktur: Fathan Mubina

Related posts

Nilai Akademis yang Tinggi atau Pengalaman yang Banyak, Mana yang Lebih Menentukan Karier?

Kita Balas di Semester Depan: Wacana yang Tak Kunjung Terlaksana

Mendekati UAS, Tugas Semakin Ganas: Mengapa?