Ronggeng Dukuh Paruk: Membuka Kembali Sejarah Gerakan 30 September 1965 Dalam Sudut Pandang Berbeda

Oleh: Zahra Salsabilla

Suara USU, Medan. Ronggeng Dukuh Paruk merupakan sebuah novel fiksi sejarah karangan seorang sastrawan Indonesia asal Banyumas, Ahmad Tohari yang pertama kali terbit pada tahun 1982. Novel ini terdiri dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jantera Bianglala. Pada tahun 2003, novel ini dicetak ulang dan triloginya dimuat dalam satu buku berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.

Berlatar pada tahun 1960-an, kisah dalam novel ini dimulai dengan menceritakan sang tokoh utama, yaitu Srintil. Seorang ronggeng cantik di Dukuh Paruk (Desa Paruk), sebuah desa dengan ronggeng sebagai sebuah ikon dan kebanggaan. Dukuh Paruk sendiri merupakan sebuah desa terpencil dan terbelakang dengan pendidikan rendah. Moral serta etika masyarakatnya juga sangat rendah sampai-sampai saling bertukar suami-istri merupakan hal yang wajar disana.

Masyarakat di desa ini benar-benar digambarkan sebagai orang-orang bodoh dengan segala sifat bejatnya. Sosok ronggeng dalam novel ini tidak hanya dijadikan sebagai pelestari adat istiadat turun temurun desa tersebut. Ronggeng juga dijadikan sebagai pusat nafsu para lelaki Dukuh Paruk. Lebih parahnya lagi, sebuah ladang penghasil cuan berkedok adat istiadat juga terjadi di Dukuh Paruk. Orang-orang akan berlomba-lomba membayar dengan harga tinggi demi bisa tidur bersama sang ronggeng. Bahkan para istri akan mendukung penuh suaminya supaya bisa tidur bersama ronggeng.

Pada tahun 1965, beberapa pemuda datang ke Dukuh Paruk dan mengajak tim ronggeng Srintil untuk tampil dalam sebuah acara. Dengan iming-iming uang mereka menyetujui penawaran tersebut dan tampil dalam acara tersebut. Akan tetapi, mereka benar-benar tidak tahu sebenarnya apa acara tersebut. Untuk orang-orang yang berasal dari desa terbelakang dengan kebodohan masyarakatnya bagaimana mungkin bisa paham ternyata kumpulan orang yang mengundang mereka merupakan anggota dari sebuah gerakan yang menggegerkan satu negara?

Dari sinilah kita akan diberi tahu bagaimana dampak buruk yang tidak terpotret dalam peristiwa 30 September 1965. Pemerintah mulai mendata orang-orang yang terlibat dalam gerakan tersebut. Gerakan itu tidak hanya merenggut nyawa 5 jendral kebanggaan kita, tetapi para rakyat tidak bersalah yang tidak tahu apa-apa turut menjadi korban dari kekejian peristiwa tersebut. Mereka yang dianggap sebagai anggota akan ditangkap, diburu, diintrogasi habis-habisan, dikurung, disiksa, bahkan diusir dari tempat tinggal mereka sendiri.

Novel ini dapat mengisahkan dengan baik sejarah kelam yang menjadi luka negara kita dengan menggunakan sudut pandang para rakyat yang tidak tahu apa-apa sehingga kita dapat mengetahui bahwa sejatinya, dampak dari gerakan itu lebih luas dari kelihatannya. Tidak hanya itu, seorang Ahmad Tohari juga mampu menggambarkan Dukuh Paruk sebagai desa yang menganut adat istiadat buruk serta krisis moral. Penggambaran desa begitu nyata sehingga sering disangka sebagai desa yang benar-benar ada pada di dunia nyata.

Selain mengangkat kisah sejarah, novel ini juga menceritakan kisah cinta antara dua tokoh utamanya, yaitu Rasus dan Srintil. Kisah cinta antara sang anggota PKI dengan sang tentara membawa perasaan haru nan tragis. Rasus adalah anak yang tinggal di Dukuh Paruk dan merupakan teman baik Srintil sedari kecil. Dikarenakan rasa kecewa dan muaknya pada bobroknya Dukuh Paruk karena menjadikan wanita yang ia cintai yaitu, Srintil menjadi ronggeng, Rasus memilih untuk pergi dari desa. Seperginya dari desa, Rasus pun memilih jalan hidupnya sebagais seorang tentara yang mengabdi pada negara.

Selain memberi kita pandangan lain tentang tragedi kelam 30 September 1965, buku ini juga mengajarkan kita pada pentingnya untuk keluar dari zona toxic. Hal ini digambarkan dari tokoh Rasus yang meninggalkan Dukuh Paruk karena ia merasa bahwa desa tersebut merupakan desa terkutuk. Oleh karena itu, buku ini sangat wajib untuk menjadi salah satu list buku yang harus sobat suara USU baca.

Redaktur: Yohana Novriyanti Lumbanbatu

Related posts

Tingkatkan Keterampilan Komunikasi melalui Buku Bicara Itu Ada Seninya

Mempertanyakan Arti Menjadi Manusia dalam Buku Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu

Bangun Petualangan Usahamu ala Buku The Power of Kepepet