SUARA USU
Opini

Dilema Ekonomi di 100 Hari Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran

Pemerintahan Prabowo-Gibran mengusung 17 program prioritas dan 8 Program Hasil Terbaik Cepat yang menjadi fokus dalam 100 hari pertama. Sejumlah kebijakan yang paling disorot antara lain Program Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan rumah sakit berkualitas, kenaikan gaji guru, pembangunan rumah gratis, serta digitalisasi perpajakan melalui aplikasi Coretax. Namun, evaluasi tidak hanya berfokus pada keberadaan program-program tersebut, melainkan juga efektivitas dan keberlanjutannya.

Salah satu program unggulan yang paling menarik perhatian adalah MBG. Pada awalnya, program ini dianggarkan sebesar Rp71 triliun dengan target 15–17,5 juta penerima manfaat. Namun, seiring waktu, proyeksi kebutuhan anggarannya terus berubah hingga akhirnya diperkirakan membutuhkan Rp100 triliun untuk mencakup 82,9 juta penerima. Anggaran untuk satu paket makanan pun mengalami beberapa kali revisi sebelum akhirnya ditetapkan sebesar Rp10.000 per porsi. Perubahan-perubahan ini menunjukkan bahwa perhitungan awal pemerintah tampaknya belum sepenuhnya matang, atau barangkali program ini lebih mengedepankan kepentingan politik ketimbang berbasis kajian yang solid.

Untuk menutup kebutuhan anggaran ini, efisiensi belanja negara menjadi strategi utama yang ditempuh. Namun, pemangkasan anggaran tidak bisa dilakukan secara serampangan. Jika yang dikorbankan adalah sektor-sektor krusial seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, maka manfaat dari program ini justru bisa berbalik menjadi beban dalam jangka panjang. Transparansi dalam pengalokasian anggaran menjadi kunci utama agar program ini tidak hanya menjadi alat populisme, melainkan benar-benar berdampak nyata bagi masyarakat luas.

Selain itu, dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, kondisi fiskal juga menghadapi tekanan yang semakin nyata. Peningkatan utang jatuh tempo, perlambatan penerimaan pajak, serta kebutuhan belanja yang terus meningkat untuk mendanai program prioritas menjadi tantangan utama. Sementara itu, indikator makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, dan harga minyak mentah masih bergerak di luar ekspektasi.

Laporan terbaru Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5 persen, meleset dari target 5,2 persen. Rupiah terdepresiasi hingga Rp16.162 per USD, jauh dari asumsi awal Rp15.000 per USD. Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) juga mengalami lonjakan ke 7 persen, melebihi target 6,7 persen, menandakan meningkatnya risiko pembiayaan. Di sisi lain, harga minyak bumi Indonesia di pasar global tercatat hanya 71,6 USD per barel, lebih rendah dari asumsi 82 USD per barel, yang berpotensi memperbesar tekanan terhadap fiskal dalam jangka menengah.

Meskipun terdapat peningkatan penerimaan pajak pada triwulan IV 2024, capaian keseluruhannya masih belum memenuhi target yang ditetapkan. Pemerintah perlu merancang strategi fiskal yang lebih tegas dan berimbang untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka pendek sekaligus memastikan keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang. Kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada stimulus jangka pendek, tetapi juga memperkuat fundamental ekonomi, menjadi kunci agar tekanan fiskal tidak berujung pada krisis yang lebih dalam.

Memang, selama 100 hari kinerja pemerintah inflasi mengalami penurunan, tetapi bukan karena keberhasilan menekan harga barang, melainkan akibat melemahnya daya beli dan turunnya harga komoditas global. Bahkan, inflasi pada akhir 2024 tercatat lebih rendah dibandingkan saat pandemi COVID-19. Namun, di saat yang sama, beberapa harga komoditas strategis justru meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Indikator kesejahteraan juga menunjukkan sinyal yang kurang menggembirakan. Nilai tukar petani mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan bahwa sektor pertanian yang selama ini menjadi kantong kemiskinan justru semakin terpuruk. Dengan demikian, penurunan inflasi tidak dapat serta-merta dianggap sebagai pencapaian yang membanggakan, apalagi jika faktanya tidak diiringi dengan perbaikan daya beli masyarakat.

Tekanan juga datang dari pelemahan nilai tukar Rupiah yang terus menjauh dari asumsi APBN. Pada Oktober 2024, realisasi nilai tukar mencapai Rp15.732 per USD, sementara APBN-2024 menetapkan asumsi Rp15.000 per USD. Tren depresiasi ini berlanjut hingga November dan Desember dengan realisasi masing-masing Rp15.864 dan Rp16.162 per USD. Selisih yang begitu lebar antara realisasi dan target nilai tukar menimbulkan dampak yang tidak bisa diabaikan, baik bagi pemerintah maupun sektor swasta.

Menurut analisis sensitivitas APBN-2024, setiap pelemahan Rupiah sebesar Rp100 per USD berpotensi meningkatkan defisit APBN hingga Rp6,2 triliun. Dengan tren pelemahan yang terus berlanjut, tekanan fiskal akan semakin besar, menuntut strategi mitigasi yang lebih matang agar stabilitas ekonomi tetap terjaga dalam jangka panjang.

Disisi lain, indikator cadangan devisa selama 100 hari pemerintahan Prabowo menunjukkan stabilitas yang baik, dengan dominasi SDRs sebagai sumber utama likuiditas internasional. Namun, peningkatan optimalisasi cadangan emas moneter dan keterlibatan lebih besar dalam RPF dapat memperkuat posisi cadangan devisa secara keseluruhan. Pemerintah perlu terus menjaga keseimbangan ini sambil memanfaatkan momentum positif dari surplus perdagangan untuk menambah kekuatan cadangan devisa nasional. Namun, keberlanjutan tren ini tetap menghadapi tantangan, terutama ketergantungan pada ekspor komoditas primer yang rentan terhadap fluktuasi harga global dan perubahan

Pemerintah Prabowo-Gibran perlu mempercepat hilirisasi industri dan diversifikasi ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas primer serta meningkatkan daya saing produk manufaktur. Insentif bagi industri strategis, efisiensi rantai pasok, dan penguatan pasar domestik menjadi langkah kunci dalam menjaga PMI tetap di zona ekspansi serta mengurangi dampak perlambatan ekonomi global.

Stabilitas fiskal dapat dijaga dengan memperluas basis pajak, mengelola utang secara seimbang, serta menarik investasi asing (FDI) guna memperkuat kepercayaan pasar. Kebijakan transparan dan strategi fiskal yang kredibel akan menjadi fondasi penting dalam menjaga surplus neraca perdagangan dan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Selain itu, efisiensi anggaran perlu diarahkan ke sektor-sektor yang memiliki dampak besar terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, agar tidak menghambat permintaan, penyerapan tenaga kerja, maupun pertumbuhan PDB sektoral.

Pemerintah perlu mengoptimalkan pembiayaan MBG dengan menggandeng pihak swasta dan lembaga filantropi agar beban APBN lebih ringan. Program ini juga dapat dikolaborasikan dengan inisiatif lain yang bertujuan menurunkan stunting, serta meningkatkan kesehatan dan pendidikan.

Di sisi lain, exit program dari berbagai bantuan sosial diperlukan agar masyarakat bisa lebih mandiri dan keluar dari kemiskinan, sehingga anggaran dapat dialihkan ke program pembangunan yang lebih berkelanjutan. Menjaga daya beli masyarakat harus menjadi prioritas, karena meskipun inflasi 2024 turun, harga pangan masih tinggi dan nilai tukar petani di sektor tanaman pangan serta perikanan terus melemah dua sektor yang menjadi kantong kemiskinan.

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang terukur guna mendukung daya beli serta konsumsi rumah tangga. Selain itu, akses pembiayaan bagi sektor ekonomi harus diperkuat dengan menurunkan suku bunga kredit, yang memerlukan peran aktif tidak hanya dari otoritas moneter tetapi juga perbankan.

Redaktur: Jesika Yusnita Laoly

 

 

 

 

 

 


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Menyoal Kesetaraan Pembukaan Kantin di USU

redaksi

Nilai Akademis yang Tinggi atau Pengalaman yang Banyak, Mana yang Lebih Menentukan Karier?

redaksi

Wisuda TK Sampai SMA, Apakah Perlu?

redaksi