SUARA USU
Featured

Indonesia Alami Deflasi Tahunan, Pertama Sejak Tahun 2000

Oleh: Erika Anggraini

Dalam ilmu ekonomi, deflasi adalah suatu periode ketika harga-harga secara umum mengalami penurunan dan nilai uang bertambah. Sejak krisis tahun 1997/1998, ketika masyarakat masih berjuang memulihkan pendapatan mereka, Indonesia hanya mengalami dua kali deflasi (year on year), yakni pada Maret 2000 dan Februari tahun ini. Artinya, fenomena deflasi tahunan terakhir terjadi 25 tahun yang lalu.

Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi pada Maret 2000 terjadi akibat kondisi ekonomi pada tahun sebelumnya, sedangkan deflasi Februari 2025 disebabkan oleh laju inflasi yang relatif rendah. Hal ini mengejutkan karena deflasi sangat jarang terjadi dalam sejarah Indonesia, terlebih menjelang bulan Ramadan.

Menurut laporan VOA Indonesia, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan bahwa Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen dan deflasi bulanan pada Februari 2025 sebesar 0,48 persen. Deflasi ini berlangsung sejak Januari lalu.

“Menurut catatan BPS, deflasi year on year juga terjadi pada Maret 2000 dengan angka 1,10 persen, yang didominasi oleh kelompok bahan makanan,” ungkap Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/3).

Lebih lanjut, Amalia menjelaskan bahwa deflasi Februari 2025 mayoritas dipengaruhi oleh komponen harga yang diatur pemerintah, dengan angka deflasi mencapai 9,02 persen dan kontribusi terhadap deflasi sebesar 1,77 persen. Faktor utama penyebabnya adalah kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan rumah tangga dengan daya 450 hingga 2.200 watt yang diberlakukan oleh pemerintahan Prabowo Subianto selama Januari–Februari. Mengingat bobot listrik dalam perhitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) cukup besar, diskon ini memberikan andil deflasi yang signifikan, yaitu 0,67 persen.

Selain diskon tarif listrik, harga air, bahan bakar rumah tangga, dan sejumlah bahan makanan pokok seperti beras, daging ayam ras, bawang merah, tomat, serta cabai merah juga mengalami penurunan. Dengan demikian, deflasi Februari 2025 terutama disebabkan oleh kelompok Perumahan, Air, Listrik, dan Bahan Bakar Rumah Tangga, serta Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau. Namun, beberapa komoditas justru mengalami kenaikan harga, seperti elpiji tiga kilogram.

Menurut BPS, deflasi selama dua bulan berturut-turut masih tergolong aman dan relatif terkendali, terutama karena lebih banyak dipengaruhi oleh faktor tarif listrik.

Namun, sejumlah pihak menilai bahwa deflasi ini juga mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat akibat kebijakan pemerintah dan berkurangnya jumlah uang yang beredar di masyarakat, terutama menjelang Ramadan. Berdasarkan data BPS, daya beli masyarakat yang tercermin dalam komponen harga inti mengalami inflasi tahunan sebesar 2,48 persen dan memberikan andil 1,58 persen.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menjelaskan bahwa selain faktor diskon tarif listrik, deflasi juga terjadi di beberapa komoditas pangan, meskipun tidak sedalam yang terjadi pada tarif listrik.

Di sisi lain, anomali cuaca yang masih berlangsung berpotensi memengaruhi produksi pertanian, terutama komoditas hortikultura. Biasanya, saat Ramadan terjadi peningkatan konsumsi yang mendorong kenaikan harga bahan pangan seperti beras, daging ayam, dan sayuran. Tarif angkutan juga berpotensi naik menjelang Lebaran akhir Maret, yang seharusnya memicu inflasi. Namun, kenyataan bahwa harga-harga justru turun menunjukkan adanya tekanan ekonomi yang menyebabkan masyarakat lebih menahan pengeluaran dibandingkan periode sebelumnya.

Deflasi dapat berdampak negatif pada berbagai aspek ekonomi, di antaranya tentu peningkatan angka pengangguran sebab perusahaan mungkin mengurangi produksi dan merumahkan karyawan akibat menurunnya pendapatan. Selain itu, beban utang yang meningkat membuat peminjam harus membayar kembali utang dengan uang yang lebih berharga. Hal ini juga membuat konsumen menunda pembelian, masyarakat cenderung menunggu harga turun lebih jauh sebelum membeli barang.

Mengutip Investor Daily, Ekonom Muhammad Anwar menyatakan, “Jika sekarang deflasi kembali terjadi setelah 25 tahun, maka ini bisa menjadi indikasi bahwa masyarakat mengalami tekanan ekonomi yang cukup besar, baik dari faktor internal maupun eksternal.”

Untuk mengatasi deflasi, pemerintah dapat memberikan stimulus moneter dan fiskal. Stimulus moneter, seperti penurunan suku bunga, bertujuan meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat. Sementara itu, stimulus fiskal dalam bentuk peningkatan belanja pemerintah dapat mendorong pergerakan sektor riil.

Redaktur: Khairani


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Membangun Sikap Toleransi Beragama di Lingkungan Masyarakat

redaksi

Bullying : Merusak Mental dan Karakter Penerus Anak Bangsa

redaksi

Kesawan, Tempat Artistik dengan Nuansa Jadul yang Khas

redaksi