Buku Kedua dari Tetralogi Buru Karya Pramoedya : Anak Semua Bangsa

Penulis: Kurniadi S

SUARAUSU, MEDAN. ” … Ia melihat semua orang yang menderita sebagai sahabatnya, semua ketidakadilan sebagai musuhnya. Tidak seharusnya orang mesti melihat keceriaan dan derita sebagai satu keseimbangan. Kan kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan?”
–Nyai Ontosoroh, halaman 266

Pramoedya Ananta Toer telah berhasil membuktikan pemikiran dan cara pandangnya yang sangat maju. Kali ini terbukti melalui lanjutan buku kedua dari Tetralogi Buru, yaitu novel romannya yang berjudul; Anak Semua Bangsa. Setelah membaca keseluruhan roman ini, banyak ditemukan bukti-bukti sejarah yang sebenarnya tidak kita tahu sama sekali dari sejak dahulu kala. Pram dengan bahasanya yang jujur dan buka-bukaan, menampilkan banyaknya keburukan dan ketidakadilan yang dilakukan pihak-pihak penguasa. Khususnya ketidakadilan kaum Eropa terhadap kaum pribumi.

Di kisahkan, Minke, seorang ningrat putra bupati Bojonegoro itu dalam kesehariannya sering kali merasa gundah. Apalagi dengan sistem kehidupan yang ada di zaman itu yang seringkali menimbulkan sekat-sekat dalam kehidupan. Minke yang merasa resah akhirnya pun memilih jalan hidupnya sendiri. Yaitu memilih menjadi manusia merdeka; yang berpikir, berbuat dan mengambil jalan hidup berdasarkan apa-apa yang menurutnya benar.

Kemudian ia pun mengambil sekolah kedokteran. HBS (Hoogere Burgerschool) nama sekolah itu. Sekolah menengah di Surabaya tersebut tentu bergengsi, karena sekolah ini biasanya dikhususkan untuk orang Belanda, peranakkan Eropa, dan elite pribumi seperti dirinya. Tidak banyak pemuda jawa yang bisa bersekolah di sana. Suatu kebanggaan tentunya bagi dirinya, dan yang secara tidak langsung juga meningkatkan derajatnya daripada pribumi lain.

Saat bersekolah di HBS, ada seorang gadis Belanda yang jatuh hati padanya. Annalies Melemma namanya. Ia terkenal cantik dan anggun di sekolah itu. Beruntung betul si Minke.


Selepas lulus dari HBS, makin menjadi pergolakan batinnya. Dalam satu sisi, seringkali ia membangga-banggakan Belanda. Dan di lain sisi, sering kali ia dicemooh oleh teman dekatnya karena dianggap tidak peduli kepada bangsanya sendiri. Terkhusus nasib akan kaum petani kecil dan rakyat jelata. Minke sering berpikir hal tersebut bertentangan dengan apa yang dipelajarinya dari sekolah gedong dan terpandang tempat dulu ia belajar. Sungguh ia merasa sangat bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang bangsanya selain hanya mengagumi revolusi Prancis dan membangun karirnya untuk bangsa kolonial, bangsa Belanda dan kaum eropa.


Pergolakan batin lainnya yang juga tidak kalah serunya adalah ketika dia menyadari bahwa orang-orang berintelek, berilmu dan berkuasa ternyata acapkali menjadi dalang dari kesengsaraan bangsanya sendiri. Sehingga perlahan, dia pun mulai mencoba untuk keluar dari pola pemikirannya yang hanya searah dan tidak objektif itu. Dan perlahan mulailah timbul idealismenya.


Dalam roman ini, Minke menjadi seorang muda yang mencoba untuk belajar keras hingga terjun langsung dan bersentuhan dengan rakyat kecil yang menderita. Dia merasa benar apa yang dikatakan Marais, Pak Kommer dan Nyai Ontosoroh tentang kesulitan hidup yang dialami rakyat pribumi kelas bawah. Sisi humanis Minke pun tumbuh.


Minke memberikan banyak kita pelajaran. Sebagai anak muda sudah selayaknya kita mau turun langsung merasakan apa-apa yang dirasakan rakyat. Agar kaum intelektual muda tidak hanya sekedar belajar, tetapi dapat menjadi idealis dan berfikir kritis, dan tentunya juga humanis.

Redaktur Tulisan: Melisa Rinarki Harahap

Related posts

Belajar Menerima Kompleksitas Emosi Lewat Film Inside Out 2

Catatan Akhir Kuliah, Nostalgia Masa Kuliah dengan Sentuhan Komedi

Roehana Koeddoes, Pendiri Surat Kabar Perempuan Sekaligus Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia