Oleh: Zahra Zaina Rusty
Suara USU, Medan. Udara bersih adalah hak fundamental setiap manusia. Seharusnya, kita semua bisa menghirup udara segar tanpa perlu khawatir akan polusi yang disengaja. Namun, realita di lapangan berbicara lain. Di banyak tempat, hak ini direbut begitu saja oleh asap rokok yang dihembuskan dengan santainya oleh para perokok. Mereka merasa bebas merokok di area terbuka selama tidak ada larangan eksplisit, tanpa sedikit pun mempertimbangkan hak orang lain untuk menghirup udara tanpa zat beracun.
Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat bahwa Indonesia memiliki sekitar 70 juta perokok aktif dengan 7,4% di antaranya adalah remaja berusia 10-18 tahun. Jumlah ini mengkhawatirkan, tidak hanya dari sisi kesehatan individu tetapi juga dari segi pencemaran udara yang diakibatkan. Asap rokok bukan sekadar gangguan bau, ia juga mengandung berbagai zat beracun seperti nikotin, karbon monoksida, dan zat karsinogenik yang dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan bagi siapa pun yang menghirupnya.
Lebih lanjut, data dari Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan mencatat bahwa sebanyak 70,2 juta orang dewasa di Indonesia adalah perokok, atau sekitar 34,5% dari populasi dewasa. Dengan angka sebesar ini, tidak heran jika udara di banyak tempat umum seperti taman, halte bus, bahkan trotoar tercemar oleh asap rokok. Perokok merasa bahwa selama mereka merokok di tempat terbuka, tidak ada yang bisa melarang. Padahal, tempat terbuka bukan berarti tempat bebas polusi asap rokok. Banyak orang di sekitarnya termasuk anak-anak, ibu hamil, dan orang dengan penyakit pernapasan yang justru harus menanggung dampak dari egoisme perokok yang merasa berhak menghembuskan asap tanpa peduli dampaknya pada orang lain.
Ironinya, ketika ditegur banyak perokok justru merasa tersinggung. Mereka bersembunyi di balik argumen klasik, “Ini hak saya, selama tidak ada larangan saya bebas merokok.” Mereka mengabaikan fakta bahwa hak mereka berhenti ketika mulai merugikan orang lain.
Jika udara bersih adalah hak semua manusia, mengapa sebagian dari kita harus rela kehilangan hak itu hanya karena segelintir orang memilih untuk terus merokok di tempat umum?
Sikap acuh tak acuh ini bukan hanya soal kebiasaan buruk, tetapi juga soal kesombongan. Perokok yang menganggap diri mereka berhak mencemari udara di ruang terbuka tanpa memikirkan dampak bagi orang lain adalah cerminan dari egoisme yang kelewat batas. Seharusnya, kesadaran bahwa udara bersih adalah milik bersama menjadi pegangan utama dalam berinteraksi di ruang publik.
Dampak buruk ini tidak hanya dirasakan oleh perokok itu sendiri, tetapi juga oleh orang-orang di sekitar mereka. Menurut Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, terdapat sekitar 120 juta orang di Indonesia yang menjadi perokok pasif. Artinya, hampir setengah dari populasi Indonesia terpapar asap rokok meskipun mereka sendiri tidak merokok. Ini bukan hanya soal kebebasan pribadi, melainkan tentang bagaimana kebiasaan buruk satu kelompok dapat memberikan dampak kesehatan yang serius bagi banyak orang lainnya.
Lebih dari itu, fenomena ini juga mencerminkan kegagalan dalam menegakkan regulasi yang melindungi hak masyarakat atas udara bersih. Meskipun sudah ada peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), implementasinya masih lemah. Banyak tempat umum yang seharusnya bebas asap rokok justru dipenuhi oleh perokok yang tidak peduli aturan. Minimnya pengawasan dan sanksi yang tegas semakin memperparah keadaan, seolah memberikan lampu hijau bagi para perokok untuk terus merokok di sembarang tempat. Jika regulasi ini tidak diperketat dan kesadaran masyarakat tidak ditingkatkan, maka udara bersih akan terus menjadi hak istimewa yang sulit diperoleh di negeri ini.
Maka, bagi kalian para perokok yang masih merasa berhak menguasai udara yang kita hirup bersama, pikirkan kembali. Apakah rokok yang kalian hisap sepadan dengan dampak buruk yang kalian berikan kepada orang lain? Udara bukan milik segelintir orang, dan tidak ada hak istimewa bagi siapa pun untuk mencemarkan seenaknya.
Redaktur: Vimelia Hutapea