Oleh: Dewi Putri B Simarmata
Suara USU, Medan. Fenomena sexual grooming merupakan masalah serius yang masih sering disepelekan, padahal dapat berdampak besar terhadap individu yang menjadi korbannya. Grooming adalah proses manipulatif yang digunakan oleh predator untuk membangun kepercayaan dengan korban mereka sebelum mengeksploitasi mereka secara seksual. Di tengah wacana kesetaraan dan perlindungan hak individu yang semakin didorong, banyak masyarakat yang masih belum menyadari adanya fenomena grooming, bahkan lebih parahnya, ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang “biasa” atau “tidak berbahaya.”
Lingkungan kampus yang kerap dianggap sebagai tempat yang mengedepankan intelektualitas dan pendidikan pun tidak sepenuhnya bebas dari fenomena grooming ini. Kasus kekerasan seksual, termasuk grooming, semakin mengkhawatirkan, terutama ketika pelaku berasal dari kalangan yang memiliki otoritas lebih tinggi, seperti dosen, senior, atau tenaga kependidikan lainnya. Salah satu contoh nyata adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang secara terbuka mengungkapkan data kasus kekerasan seksual. Berdasarkan data yang tercatat, antara tahun 2020 hingga 2022 terdapat 135 kasus kekerasan seksual, termasuk grooming, yang melibatkan pelaku dari kalangan dosen, tenaga kependidikan, sesama mahasiswa, atau pihak eksternal. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun banyak kampus belum secara transparan membuka data terkait kasus kekerasan seksual, bukan berarti masalah ini tidak ada.
Di banyak kampus, tindakan yang sebenarnya merupakan bagian dari grooming masih dianggap biasa atau bahkan di-normalisasi. Misalnya, hubungan yang tidak sehat antara mahasiswa dan dosen atau adanya budaya senioritas yang berlebihan yang memberi ruang bagi manipulasi oleh pelaku. Pelaku grooming seringkali memanfaatkan posisi mereka untuk mendekati mahasiswa baru atau individu yang rentan. Pada awalnya, pelaku tidak langsung menunjukkan niat buruk mereka, melainkan mereka secara perlahan membangun hubungan dengan korban, memberi perhatian lebih, dan menciptakan situasi di mana korban merasa berutang budi. Dengan cara ini, pelaku menanamkan rasa ketergantungan pada korban, yang membuat mereka merasa tidak mampu menolak atau melawan.
Korban yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dijebak akan semakin terperangkap dalam manipulasi ini, terlebih lagi jika pelaku memainkan peran sebagai penyelamat ketika korban menghadapi kesulitan, baik dalam hal akademik maupun personal. Pada titik tertentu, korban mulai merasa nyaman dan tidak menyadari bahwa batasan-batasan mereka telah dilanggar. Hubungan kuasa yang timpang, di mana pelaku memiliki posisi yang lebih tinggi, membuat korban merasa kesulitan untuk menyadari adanya manipulasi atau bahkan untuk melawan.
Masalah semakin kompleks ketika budaya victim blaming muncul dalam masyarakat. Fenomena ini sering kali membuat korban merasa disalahkan atas apa yang mereka alami, seolah-olah mereka berkontribusi terhadap kekerasan yang terjadi. Masyarakat lebih suka mempertanyakan, “Kenapa korban tidak menolak?” atau “Kenapa korban tetap menjalin hubungan dengan pelaku?” Daripada mempertanyakan tindakan pelaku atau mencari tahu bagaimana situasi sebenarnya terjadi. Padahal, banyak korban yang terjebak dalam situasi yang penuh tekanan. Ketakutan, manipulasi emosional, serta ancaman secara eksplisit maupun implisit sering kali membuat mereka tidak mampu untuk keluar dari situasi yang menekan tersebut.
Grooming bukan hanya soal keputusan korban untuk “mau atau tidak mau,” melainkan tentang bagaimana pelaku membentuk situasi yang membuat korban merasa tidak punya pilihan dan akhirnya terjebak dalam kekerasan seksual. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 Komnas Perempuan, tercatat ada 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan, meskipun jumlah ini menurun sekitar 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, penurunan ini belum sepenuhnya mencerminkan kenyataan, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan akibat stigma negatif atau ketakutan korban terhadap ancaman pelaku. Hal ini menciptakan seolah-olah korban yang mengalami kekerasan seksual adalah pihak yang bertanggung jawab atas apa yang mereka alami, sementara pelaku cenderung tidak terlalu mempertimbangkan dampak perbuatan mereka.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada tahun 2020, 3 dari 5 responden mengaku belum pernah mendengar tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Padahal, 45,6% dari responden tersebut pernah mengalami kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai isu kekerasan seksual, yang menjadi salah satu faktor utama mengapa budaya victim blaming bisa berkembang.
Budaya victim blaming membuat korban merasa terisolasi dan tidak mendapatkan dukungan, bahkan mengarah pada ketakutan akan konsekuensi yang lebih besar jika mereka melawan atau berbicara tentang apa yang telah terjadi. Hal ini sangat berbahaya, tidak hanya untuk kondisi psikologis korban, tetapi juga bagi keadilan itu sendiri. Dengan terbentuknya budaya ini, korban menjadi enggan untuk melapor atau mencari pertolongan karena takut disalahkan atau dipermalukan. Akibatnya, pelaku terus beroperasi tanpa konsekuensi yang setimpal, dan sistem keadilan pun menjadi tidak efektif dalam memberantas masalah ini.
Jika kebiasaan ini dibiarkan, tidak hanya korban yang dirugikan, tetapi juga sistem keadilan dan perlindungan bagi masyarakat secara keseluruhan. Kasus grooming dan kekerasan seksual tidak akan pernah benar-benar bisa diberantas jika perhatian masyarakat lebih banyak tertuju pada mempertanyakan tindakan korban daripada pada menuntut pelaku. Untuk itu, kampus, sebagai lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai keadilan dan intelektualitas, harus memiliki sistem yang lebih tegas dan berpihak kepada korban. Kampus harus menciptakan ruang pelaporan yang aman dan memberikan sanksi yang tegas serta memberikan efek jera kepada pelaku.
Dengan demikian, perlu adanya kesadaran kolektif di lingkungan kampus dan masyarakat untuk menanggulangi fenomena grooming dan kekerasan seksual. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang tidak hanya berfokus pada menghukum pelaku, tetapi juga memberikan dukungan penuh kepada korban agar mereka merasa aman untuk berbicara dan melapor tanpa takut dihukum atau disalahkan.
Redaktur: Annisya Putri Anggraini