Oleh: Frianka Raya Sitanggang
Suara USU, Medan. Overachiever, istilah yang diberikan untuk individu yang memiliki dorongan kuat untuk mencapai standar yang sangat tinggi, sering kali melampaui ekspektasi yang ditetapkan. Mereka berkeinginan untuk mengejar prestasi akademik, pengalaman organisasi, dan pencapaian lainnya secara intensif. Dalam konteks dunia kampus, fenomena overachiever mengacu pada mahasiswa yang terus-menerus berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam berbagai aspek kehidupan akademik dan non-akademik, terkadang dengan mengorbankan keseimbangan hidup mereka.
Di lingkungan kampus, fenomena overachiever sangat sering ditemui. Mahasiswa yang berusaha melampaui ekspektasi akademik dan non-akademik dianggap sebagai sosok inspiratif, tetapi di sisi lain, gaya hidup ini juga bisa menjadi beban. Tekanan untuk selalu berprestasi sering kali berasal dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Apakah menjadi overachiever di kampus adalah bentuk ambisi yang sehat, atau justru akibat dari tekanan sosial yang berlebihan?
Salah satu alasan utama mengapa banyak mahasiswa menjadi overachiever adalah karena tekanan akademik yang tinggi. Mereka berusaha selalu meraih nilai terbaik agar bisa bersaing dengan teman-temannya, mendapatkan beasiswa, atau memiliki peluang kerja yang lebih baik di masa depan. Tekanan ini bisa datang dari berbagai arah, seperti tuntutan harapan orang tua yang ingin anaknya sukses, atau bahkan dari diri sendiri yang menetapkan standar terlalu tinggi. Akibatnya, mahasiswa sering kali merasa harus bekerja lebih keras tanpa henti, takut jika mereka gagal atau tidak mencapai target yang diinginkan.
Selain itu, lingkungan sosial di kampus juga berperan dalam kemunculan sikap overachiever pada mahasiswa. Banyak dari mereka merasa harus mengikuti standar kesuksesan yang semakin luas, tidak hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam berbagai aktivitas lain seperti organisasi dan magang,. Tekanan ini sering kali muncul karena mereka melihat teman-temannya yang tampak aktif dan produktif, sehingga timbul rasa takut tertinggal atau dianggap kurang berprestasi.
Media sosial semakin memperburuk situasi ini dengan menampilkan pencapaian orang lain secara terus-menerus. Mahasiswa sering kali melihat unggahan tentang teman-teman mereka yang tampak selalu sibuk, berhasil dalam banyak hal, dan memiliki segudang prestasi. Contoh lainnya tidak jarang ditemui cerita anak muda di media sosial yang merasa minder ataupun insecure dengan melihat pencapaian orang yang lebih muda dari pada mereka di platform media sosial seperti Linkedin.
Tanpa sadar, mereka mulai membandingkan diri sendiri dengan standar yang mungkin tidak realistis. Mereka merasa perlu bekerja lebih keras agar bisa sejajar dengan orang lain, tanpa menyadari bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing dan batas kemampuan yang berbeda. Akibatnya dapat menciptakan tekanan yang tidak sehat dan membuat sulit merasa puas dengan usaha yang telah dilakukan.
Meskipun menjadi overachiever sering dikaitkan dengan kesuksesan, ada beberapa dampak yang perlu diperhatikan. Salah satu dampak utama adalah kesehatan mental yang terabaikan. Tekanan untuk selalu berprestasi bisa menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan burnout. Banyak mahasiswa yang merasa kelelahan secara mental karena terus-menerus mengejar kesempurnaan tanpa memberi diri mereka waktu untuk beristirahat.
Selain itu, kehidupan sosial mereka turut terganggu, dikarenakan terlalu fokus pada pencapaian, mahasiswa overachiever cenderung mengorbankan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Akibatnya, mereka bisa merasa kesepian atau sulit menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain. Kemudian, mereka sering mengalami ketidakpuasan diri. Setelah mencapai satu target, mereka langsung menetapkan target baru tanpa menikmati hasil kerja kerasnya. Hal ini bisa membuat mereka sulit merasa puas dan terus-menerus merasa kurang.
Namun dibalik dampak negatif tersebut, tentu ada juga sisi positif dari menjadi overachiever. Mahasiswa yang selalu berusaha lebih biasanya memiliki pencapaian akademik yang lebih tinggi dan keterampilan yang berguna di dunia kerja, seperti manajemen waktu dan kepemimpinan. Mereka juga memiliki daya juang yang tinggi, terbiasa menghadapi tantangan, dan tidak mudah menyerah. Sikap ini menjadi modal berharga dalam menghadapi dunia profesional, karena mereka dapat dijadikan inspirasi. Dedikasi mereka dalam belajar dan berorganisasi bisa memotivasi teman-temannya untuk lebih serius dalam mengembangkan diri dan mencapai tujuan mereka.
Fenomena overachiever di kampus bisa menjadi keuntungan sekaligus tantangan. Di satu sisi, memiliki ambisi yang tinggi dapat membantu mahasiswa mencapai prestasi akademik yang baik, mengembangkan keterampilan, serta membuka peluang lebih besar di masa depan. Mahasiswa yang selalu berusaha lebih biasanya lebih disiplin, gigih, dan siap menghadapi persaingan di dunia kerja. Namun, jika ambisi ini tidak dikelola dengan baik, tekanan dari lingkungan sosial dan tuntutan akademik yang berat dapat menjadi beban yang berpengaruh pada kesehatan mental. Banyak mahasiswa yang mengalami stres, kecemasan, bahkan kelelahan akibat terus-menerus menuntut diri mereka untuk selalu unggul dalam segala hal.
Karena itu, sebagai mahasiswa, penting untuk memahami batas kemampuan diri sendiri dan tidak terjebak dalam persaingan yang tidak sehat. Kesuksesan bukan hanya diukur dari banyaknya prestasi yang dicapai, tetapi juga dari seberapa baik seseorang bisa menjaga keseimbangan dalam hidupnya. Memiliki waktu untuk beristirahat, bersosialisasi, dan menikmati hal-hal sederhana dalam hidup juga merupakan bagian dari keberhasilan. Menyeimbangkan ambisi dengan kehidupan sosial dan kesehatan mental sangat penting agar mahasiswa bisa meraih kesuksesan tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka.
Redaktur: Zahra Zaina Rusty