Politik dan Konglomerasi Media, Kebebasan atau Kepentingan

(Ilustrasi: Gaisha Putri)

Oleh: Rizqi Putra Permono

Suara USU, Medan. ”Walaupun kita menjunjung tinggi kebebasan pers, kita harus waspada terhadap penyebaran berita-berita yang tidak benar, berita-berita hoax, penyebaran kebencian, penyebaran terhadap ketidakpercayaan terhadap warga negara, upaya-upaya pecah belah ini harus kita waspadai. Harus waspada terhadap usaha-usaha untuk mengendalikan pemikiran dan mempengaruhi jalannya opini-opini rakyat dengan menggunakan modal yang besar,” demikian pernyataan Prabowo Subianto selaku Presiden Republik Indonesia dalam peringatan Hari Pers Nasional 2025.

Ia menyinggung adanya usaha-usaha untuk mengontrol pikiran dan mempengaruhi opini-opini rakyat dengan menggunakan modal besar. Pernyataan ini menyoroti tantangan yang akan dan selalu dihadapi oleh pers Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan, kontrol dan kepentingan, terutama di tengah dominasi ekonomi-politik yang dikuasai segelintir elite.

Sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi, pers memiliki peran penting sebagai watchdog yang menjadi andalan dari rakyat untuk mengawasi kinerja pemerintah bangsa ini. Pers menjadi harapan bagi masyarakat untuk dapat menyuarakan berbagai penyalahgunaan wewenang sekaligus menjadi penanda bahwa demokrasi yang sehat masih berada di dalam suatu negara. Namun, seringkali dijumpai bahwa relasi politik dan pers berada di dalam kawasan abu-abu. Istilah lapdog yang menjadi kebalikan dari kata watchdog, kerap kali disematkan kepada media pers yang di intervensi oleh kelompok-kelompok pemodal besar yang memiliki kepentingan politik.

Pernyataan dari Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Pers Nasional 2025 memunculkan satu pertanyaan: Apakah pers Indonesia benar-benar bebas, atau justru menjadi alat kepentingan politik tertentu?

Jika kita menilik kembali tentang sejarah pers di Indonesia, kita tidak lepas dengan nama ‘Orde Baru’. Sebuah rezim yang berkuasa selama 32 tahun di Republik Indonesia, mulai merenggut kebebasan berekspresi terutama terhadap media pers setelah terjadinya Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) di tahun 1974. Sebuah peristiwa yang menjadi penanda sirnanya kebebasan pers di Indonesia saat itu. Sepertinya hal nya kata lapdog, pada saat itu pers harus menjadi sebuah kaki tangan bagi pemerintah untuk menyuarakan berbagai kinerja ‘baik’ mereka, dan bahkan tidak asing untuk menyembunyikan berbagai kekurangan dan penyimpangan wewenang negara. Sekalipun dipersulit dan tidak jarang dibredel, beberapa media pers tetap menyuarakan informasi dan aspirasi yang sebenar-benarnya kepada masyarakat di masa orde baru.

Setelah Reformasi, pengekangan terhadap dunia pers mengalami kelonggaran. Namun, bukan berarti rintangan perjalanan pers di Indonesia hilang begitu saja. Mulai terjadi perubahan ancaman tentang kebebasan, kontrol dan kepentingan pers yang pada awalnya berasal dari pengaruh luar media pers seperti sistem negara, pemerintah, birokrasi, maupun perundang-undangan. Perubahan tersebut mulai terjadi dari dalam tubuh media pers itu sendiri, dengan munculnya pemilik modal berafiliasi politik yang menguasai pers atau biasa disebut dengan konglomerasi media.

 

Apa itu konglomerasi media?

Dikutip dari Umi Khumairoh (2021), praktik konglomerasi media adalah konsolidasi dari media massa untuk merger menjadi suatu perusahaan besar yang terdiri dari banyak media massa kemudian menjadi bagian bisnisnya. Praktik ini memunculkan persaingan informasi dan bisnis yang tidak sehat antara media massa independen dengan media massa yang dikuasai oleh pemilik bisnis tertentu, karena penyebaran informasi yang dilakukan oleh praktik konglomerasi media biasanya bersifat profit, subjektif dan sarat akan kepentingan politik kelompoknya.

 

Berbahayakah bagi media pers dan masyarakat?

Dengan dominasi dari konglomerasi media, kepentingan ekonomi dan politik kelompok sering sekali lebih diutamakan dibandingkan kepentingan publik. Model bisnis berbasis clickbait, sensasional, dan komersialisasi konten menjadi sebuah fenomena yang bertolak belakang dengan prinsip media yang harus independen, jujur dan netral. Hal ini dapat mengancam hak masyarakat umum untuk menerima ketersedian informasi, keragaman berita, dan tentu saja merusak citra pers sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi.

Konglomerasi media juga dikhawatirkan dapat mengurangi keberagaman penyajian berita dari berbagai sudut pandang politik, yang disebabkan oleh kekuatan bisnis politik yang dominan. Hal ini akan mengancam kebebasan pers dan hilangnya berbagai media independen. Padahal sebagai sebuah negara demokrasi, bangsa ini harus memberikan kebebasan berekspresi kepada masyarakatnya dari berbagai hal. Selain itu, fenomena ini membuat kita kembali mengingat bagaimana media pers yang bersifat lapdog pada masa Orde Baru yaitu terkekang, terbelenggu dan selalu dibawah ketiak penguasa maupun pemerintah.

Begitu juga dampaknya terhadap khalayak umum atau masyarakat, konglomerat media menyebabkan sebuah informasi akan menjadi bias dan mengandung unsur manipulasi opini. Dalam buku Pers dan Penguasa yang ditulis oleh Wishnu Basuki, yang juga mengutip kutipan dari seorang jurnalis bernama Lewis W. Wolfson, tentang masalah penyimpangan informasi. Kita memerlukan kekuatan pers–kekuatan positif dan edukatif–lebih dari hanya memberi ‘berita’ yang besar.

Kutipan tersebut menekankan bahwa pers merupakan alat yang harus memberikan wawasan yang luas serta informasi yang faktual bagi masyarakat. Bahwa pers tidak boleh hanya sekedar memberitakan kejadian besar atau sensasional. Lebih dari itu, pers harus bertanggung jawab dengan memberikan informasi yang mendalam, objektif, dan bernilai.

Konglomerasi media, politik, dan pers selalu memiliki hubungan yang kompleks dan sarat akan konflik kepentingan. Kebebasan informasi akan menjadi sebuah taruhan, jika suatu atau seluruh media pers dikuasai oleh para pemilik modal, terutama yang berafiliasi dengan politik.

Untuk menjalankan demokrasi pers yang sehat, perlu sebuah regulasi yang adil untuk menghindari monopoli media yang dikuasai satu kelompok, dukungan perlindungan hukum terhadap media dan jurnalis independen, serta peningkatan literasi digital kepada masyarakat agar bisa lebih berpikir kritis sehingga tidak mudah terpengaruh oleh suatu kepentingan.

Redaktur: Fatih Fathan Mubina

Related posts

Korupsi Adalah Musuh Bersama yang Diam-Diam Kita Lestarikan

POLRI DI PERSIMPANGAN KEPERCAYAAN DAN KECURIGAAN

Melemahnya Rupiah dan Menurunnya Daya Beli Masyaraka