Mahasiswa atau “Mahasewa”, Melawan Stigma dalam Gerakan Demonstrasi

Ilustrator: Aliza Asyula Darma

Oleh: Dewi Putri B Simarmata

Suara USU, Medan. Demonstrasi, atau unjuk rasa, adalah bentuk penyampaian pendapat atau protes yang dilakukan secara massal di muka umum dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi merupakan salah satu alat perjuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mengawal kebijakan pemerintah dan menyuarakan kepentingan rakyat.

Dalam konteks mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat terdidik yang membawa harapan sebagai “agen perubahan,” mereka sering menjadi penggerak demonstrasi karena idealisme dan semangat perubahan yang mereka miliki. Salah satu contoh nyata peran mahasiswa dalam demonstrasi adalah gerakan Reformasi 1998. Pada saat itu, mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia, bersama lapisan masyarakat lainnya, menggelar aksi unjuk rasa untuk menuntut reformasi total. Tuntutan tersebut mencakup pengunduran diri Presiden Soeharto, penghapusan dwifungsi ABRI, serta penegakan hak asasi manusia dan demokrasi yang lebih transparan dan berkeadilan.

Gerakan ini mencapai puncaknya ketika ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR pada Mei 1998, menekan pemerintah untuk merespons tuntutan rakyat. Tekanan yang semakin kuat dari mahasiswa, ditambah dengan krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik, akhirnya mendorong Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa. Aksi unjuk rasa yang terjadi, termasuk Tragedi Trisakti, menjadi bagian dari sejarah yang mengakhiri era Orde Baru. Peristiwa ini dan berbagai aksi lainnya membuktikan bahwa gerakan mahasiswa bukan sekadar aksi turun ke jalan tanpa tujuan atau sekadar perusakan fasilitas, melainkan perjuangan nyata untuk membawa perubahan besar bagi keberlanjutan bangsa.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul narasi yang meremehkan peran mahasiswa dalam demonstrasi dengan melabeli mereka sebagai “Mahasewa.” Istilah ini pertama kali ramai dibincangkan di media sosial pada 21 April 2022, bertepatan dengan aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh di Jakarta. Tuntutan dalam aksi tersebut mencakup penindakan tegas terhadap pelanggar konstitusi serta penolakan wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Istilah “Mahasewa” muncul sebagai tuduhan bahwa mahasiswa dibayar untuk memojokkan pemerintah. Sejak saat itu, istilah ini sering digunakan di dunia maya untuk menanggapi setiap aksi unjuk rasa yang terjadi dari tahun ke tahun. Namun, apakah label “Mahasewa” benar mencerminkan kenyataan atau sekadar alat untuk membungkam kritik?

Salah satu alasan cepatnya penyebaran istilah ini adalah maraknya buzzer dan misinformasi di media sosial, yang membuat banyak orang lebih mudah menerima narasi yang meremehkan gerakan mahasiswa daripada memahami isi dan tujuan tuntutan mereka. Hal ini juga didukung oleh algoritma media sosial yang lebih memprioritaskan konten provokatif dibandingkan diskusi berbasis fakta. Fenomena ini diperparah oleh sistem filter bubble dan echo chamber, yang membuat pengguna lebih sering terpapar informasi yang hanya sejalan dengan pandangan mereka, sehingga mempersempit wawasan mereka terhadap sudut pandang lain. Akibatnya, informasi yang akurat dan berbasis fakta sering kali tenggelam oleh arus misinformasi yang lebih menarik perhatian.

Pengaruh algoritma media sosial ini terlihat dalam pemilihan umum sebelumnya, di mana media sosial memainkan peran krusial dalam pengambilan keputusan memilih. Platform seperti X, TikTok, Instagram, dan Facebook menjadi sarana utama bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi politik. Hal serupa terjadi dalam penggunaan istilah “Mahasewa,” di mana algoritma media sosial cenderung memperkuat narasi yang sedang populer, tanpa memedulikan apakah informasi tersebut benar atau hanya propaganda. Akibatnya, banyak orang lebih mudah “terbawa arus” dalam menerima dan menyebarkan label negatif terhadap mahasiswa tanpa memahami alasan di balik aksi mereka, yang mungkin sebenarnya mewakili tuntutan mereka sendiri sebagai masyarakat.

“Katanya mewakili rakyat, tapi jujur saya sebagai rakyat tidak merasa terwakili.”

Komentar seperti ini kerap ditemui dalam berbagai konten media sosial yang membahas demonstrasi mahasiswa. Perlu dipahami bahwa mahasiswa bukanlah kelompok homogen yang mewakili semua golongan masyarakat. Mereka adalah bagian dari rakyat itu sendiri, dengan kapasitas intelektual dan idealisme yang memungkinkan mereka menyuarakan persoalan yang sering kali diabaikan atau ditutup-tutupi. Jika diumpamakan dalam skala sepuluh orang, memang mungkin mahasiswa tidak mewakili aspirasi dua orang, tetapi mereka tetap mewakili aspirasi delapan orang lainnya.

Data survei mengenai aksi demonstrasi mahasiswa juga menunjukkan bahwa mereka sering mendapat dukungan dari masyarakat. Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) melakukan survei terkait pandangan masyarakat terhadap aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/RI dan beberapa titik di Indonesia. Dari 1.194 responden, lembaga tersebut berkomunikasi dengan 469 responden. Hasilnya, 77 persen responden menyatakan setuju terhadap aksi mahasiswa di depan Gedung DPR RI. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat merasa aspirasinya terwakili oleh mahasiswa serta mendukung aksi mereka.

Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perubahan sosial dan politik di Indonesia. Dari aksi demonstrasi 1998 yang berhasil menumbangkan Orde Baru hingga berbagai gerakan yang menyoroti isu-isu seperti RUU KUHP, pelemahan KPK, dan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, mahasiswa selalu berada di garis depan perjuangan.

Jadi, apakah mereka “disewa” untuk menyuarakan aspirasi rakyat? Tudingan bahwa mahasiswa berdemo karena bayaran perlu diuji dengan bukti konkret. Jika memang ada penyusupan di baliknya, seharusnya ada data yang membuktikan aliran dana tersebut. Namun, dalam banyak aksi mahasiswa, mereka justru menggalang dana secara mandiri atau mendapat bantuan dari masyarakat untuk membiayai aksi mereka. Fenomena “rakyat bantu rakyat” ini sering terlihat, di mana masyarakat menyumbangkan makanan dan minuman gratis selama unjuk rasa berlangsung.

Contoh nyata penggalangan dana mandiri ini dapat dilihat dalam aksi demonstrasi “Reformasi Dikorupsi” pada September 2019. Mantan personel Banda Neira, Ananda Badudu, menginisiasi penggalangan dana untuk membantu mahasiswa tersebut. Dalam dua hari, dana yang terkumpul mencapai Rp100 juta. Dana ini digunakan untuk menyediakan logistik seperti makanan, minuman, dan kebutuhan medis bagi para demonstran.

Contoh lain terlihat dalam aksi terbaru “Indonesia Gelap” pada Februari 2025, di mana komunitas penggemar boyband Korea Selatan, NCTzen, turut berkontribusi dengan menyediakan ambulans, makanan, dan minuman gratis bagi para demonstran melalui penggalangan dana bersama. Fenomena ini menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa sering kali didukung oleh inisiatif mandiri dan solidaritas masyarakat, bukan oleh aliran dana tersembunyi dari aktor politik tertentu.

Melabeli mahasiswa yang memperjuangkan hak masyarakat melalui aksi unjuk rasa sebagai “Mahasewa” tanpa dasar yang terbukti bukanlah tindakan bijak. Alih-alih mencoba membungkam mereka dengan tuduhan tak berdasar, yang dapat memengaruhi aksi demonstrasi mahasiswa ke depannya, lebih baik kita bertanya: jika mahasiswa memilih diam, siapa lagi yang akan bersuara?

Redaktur: Jesika Yusnita Laoly

 

 

Related posts

Korupsi Adalah Musuh Bersama yang Diam-Diam Kita Lestarikan

POLRI DI PERSIMPANGAN KEPERCAYAAN DAN KECURIGAAN

Melemahnya Rupiah dan Menurunnya Daya Beli Masyaraka