“Bayar Bayar Bayar”: Kritik Tajam Sukatani yang Menghilang

(Sumber: detik.com)

Penulis: Muhammad Halim

Suara USU, Medan. Band asal Purbalingga, Sukatani, baru-baru ini menjadi perbincangan setelah lagu mereka yang berjudul Bayar Bayar Bayar viral di media sosial. Lagu ini menarik perhatian publik lantaran liriknya yang secara tajam mengkritik dosa-dosa pungli yang dilakukan terang-terangan oleh oknum kepolisian. Namun, setelah mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian melalui akun Instagram @sukatani.band pada 20 Februari 2025, band ini menarik lagunya dari semua platform musik. Hingga kini, lagu tersebut belum tersedia secara resmi, meskipun beberapa masyarakat yang sempat mendengarnya masih mengunggah ulang di media sosial seperti YouTube, TikTok, dan X (Twitter).

Video permintaan maaf tersebut menimbulkan spekulasi di kalangan netizen. Banyak yang menduga adanya tekanan terhadap band ini, terutama karena mereka sebelumnya selalu tampil menggunakan topeng dan tidak pernah menunjukkan identitas aslinya. Namun, dalam video klarifikasi, mereka tampil tanpa topeng, sehingga wajah asli para personelnya terekspos.

Lirik Bayar Bayar Bayar mengangkat isu pungli dalam berbagai layanan, seperti pembuatan SIM, tilang, laporan kehilangan, hingga korupsi yang juga disebut-sebut melibatkan kepolisian. Dalam salah satu bait, lagu ini menyebutkan:

Mau bikin SIM bayar polisi

Ketilang di jalan bayar polisi

Touring motor gede bayar polisi

Angkot mau ngetem bayar polisi

Lirik ini relevan dengan pengalaman masyarakat. Seorang warga Medan, misalnya, mengaku pernah membayar Rp600 ribu kepada oknum polisi agar bisa mendapatkan SIM tanpa harus mengikuti prosedur yang berbelit. Hal ini mencerminkan betapa praktik pungli telah menjadi rahasia umum di Indonesia.

Selain itu, kritik dalam lagu ini juga menyoroti dugaan keterlibatan kepolisian dalam berbagai kasus suap dan korupsi. Salah satunya adalah kasus AKBP Bambang Kayun, yang didakwa menerima suap Rp57,1 miliar untuk mengatur penyidikan pemalsuan surat ahli waris. Di Sumatera Utara, dua oknum polisi juga terseret dalam kasus korupsi Dana Alokasi Khusus untuk SMA dan SMK. Uang sebesar Rp400 juta berhasil disita, tetapi upaya penangkapan terhadap pelaku gagal akibat bocornya informasi operasi tersebut. Kejanggalan ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana informasi penangkapan bisa bocor? Bukankah hanya pihak internal kepolisian yang mengetahuinya? Hal ini menimbulkan dugaan adanya permainan di dalam institusi tersebut, yang sudah menjadi rahasia umum.

Dilansir dari Kompas.com, tindakan pungli ini bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas. Dalam Pasal 53, peraturan tersebut melarang polisi meminta biaya sebagai imbalan pelayanan, memaksa korban mencari bukti sendiri, hingga melakukan intimidasi terhadap masyarakat.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa kritik dalam lagu Bayar Bayar Bayar bukanlah sekadar lirik kosong, tetapi refleksi dari realitas yang masih dihadapi banyak masyarakat. Keputusan Sukatani untuk menarik lagu dan meminta maaf menunjukkan betapa sulitnya menyuarakan kritik terhadap institusi tertentu tanpa menghadapi tekanan. Jika masyarakat semakin takut untuk berbicara, siapa yang akan berani mengawasi penyalahgunaan wewenang? Kritik seharusnya dijadikan bahan evaluasi, bukan dibungkam.

Redaktur: Khairani 

 

Related posts

Menemukan Makna di Balik Lagu “Tanda” oleh Yura Yunita

Refleksi Kematian dan Kehidupan, Makna Mendalam Lagu ‘O, Tuan’ dari Feast 

Gaho “Start Over”, Keberanian untuk Memulai Kembali