Oleh: Bunga Dwi Sartika
Suara USU, Medan. Semakin banyak mahasiswa memilih menjadi freelancer di sela perkuliahan. Apakah ini sekadar mencari uang tambahan atau ada peluang lebih besar yang bisa dimanfaatkan? Pertanyaan ini semakin relevan seiring dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang terjun ke dunia freelance dengan berbagai faktor.
Dulu, mahasiswa mengandalkan uang saku orang tua atau bekerja paruh waktu di kafe dan toko ritel dengan jam kerja terikat. Kini, dunia freelance menawarkan fleksibilitas lebih besar. Mahasiswa bisa bekerja kapan dan di mana saja, mengatur beban kerja sesuai jadwal kuliah, serta memilih bidang seperti penulisan, desain grafis, editing video, atau pengelolaan media sosial.
Faktor finansial jelas menjadi pendorong utama, terutama bagi mahasiswa rantau yang harus menopang biaya hidup sendiri. Namun, seiring waktu, mereka menyadari bahwa freelance bukan sekadar soal penghasilan. Ini adalah kesempatan membangun portofolio, memperluas jaringan, dan mendapatkan pengalaman kerja nyata. Seorang mahasiswa desain, misalnya, dapat mengumpulkan hasil karyanya untuk menarik lebih banyak klien. Seorang penulis lepas bisa menemukan passion dalam kepenulisan dan menjadikannya karier jangka panjang.
Lebih dari itu, freelance melatih keterampilan yang tidak selalu diajarkan di kelas: manajemen waktu, negosiasi dengan klien, serta mengelola keuangan dan proyek secara mandiri. Kemampuan ini menjadi nilai tambah di dunia kerja, di mana perusahaan kini mencari lebih dari sekadar IPK tinggi. Lulusan dengan pengalaman kerja nyata dan kemampuan problem-solving lebih menarik bagi perekrut.
Freelancer juga menanamkan pola pikir kewirausahaan. Mahasiswa belajar memasarkan diri, membangun reputasi, dan mempertahankan klien. Tak sedikit yang awalnya sekadar mencari tambahan uang jajan lalu berkembang menjadi wirausahawan, membentuk tim kecil, dan menangani proyek dalam skala lebih besar.
Di era digital, perbatasan antara pekerjaan freelance dan pekerjaan tetap semakin kabur. Banyak perusahaan lebih memilih merekrut freelancer berbakat dibandingkan karyawan tetap karena fleksibilitas yang mereka tawarkan. Ini membuka peluang bagi mahasiswa mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi bahkan sebelum lulus.
Meski menawarkan banyak keuntungan, freelance juga penuh tantangan. Dibutuhkan kedisiplinan tinggi untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kuliah, serta ketekunan menghadapi klien yang tidak membayar, proyek yang dibatalkan mendadak, atau pekerjaan yang menumpuk saat ujian. Kesuksesan di dunia freelance bergantung pada kemampuan mengatur waktu, memilih proyek, dan menentukan prioritas.
Pada akhirnya, menjadi freelancer bukan sekadar pekerjaan sampingan, melainkan langkah awal menuju masa depan yang lebih besar. Jika dikelola dengan baik, pengalaman ini bisa menjadi modal utama dalam membangun karier bahkan sebelum memasuki dunia kerja formal. Jadi, freelance hanyalah tambahan uang jajan—atau awal dari sesuatu yang lebih besar? Jawabannya ada di tangan mereka yang berani mengambil peluang.
Redaktur: Khairani