Mahasiswa Junior Tidak Boleh Berdandan Cantik dan Menarik, Apakah Masih Ada Senioritas di Kampus?

Penulis : Rekisha Ainur Ramadani

Suara USU, Medan. Di beberapa kampus atau fakultas, masih terasa adanya nuansa senioritas yang mempengaruhi bagaimana seorang mahasiswa dapat berinteraksi dan mempresentasikan diri, termasuk dalam hal berpenampilan. Namun, apakah harus ada batasan dalam berdandan atau penampilan, khususnya yang ditujukan kepada mahasiwa junior, untuk menegakkan semacam ‘tradisi’ senioritas?

Hal yang paling utama ialah, penting untuk kita memahami bahwa kampus merupakan miniatur masyarakat yang lebih besar. Dalam perihal ini, kampus seharusnya menjadi tempat di mana setiap individu merasa bebas untuk mengekspresikan diri, termasuk dalam cara berdandan atau berpenampilan. Mengenakan pakaian atau make-up yang menjadikan seseorang merasa percaya diri dan nyaman merupakan hak setiap individu. Selama tidak melanggar aturan atau norma yang disepakati dalam konteks akademis atau sosial di kampus. Keadilan dan kesetaraan harus menjadi nilai utama dalam komunitas akademik. Pembatasan atau pandangan negatif terhadap cara berdandan seseorang, khususnya terhadap adik tingkat oleh senior, bukan hanya mencerminkan praktik senioritas yang kaku, tapi juga bisa dipandang sebagai bentuk penindasan. Ini menimbulkan pertanyaan tentang di mana letak kesetaraan jika seorang junior harus mengubah cara berpenampilannya hanya untuk ‘menghormati’ tradisi atau pandangan senior.

Mengajarkan atau mengharuskan adik tingkat untuk tidak berdandan atau berpenampilan menarik dapat memberikan pesan bahwa penampilan fisik seseorang berhubungan dengan nilai atau kompetensinya sebagai mahasiswa. Ini merupakan pemikiran yang sangat keliru. Penampilan seseorang tidak seharusnya dianggap sebagai ukuran kemampuan akademik atau kelayakan sosial dalam komunitas kampus. Pembelajaran dan pertumbuhan intelektual, bukan penampilan fisik, seharusnya menjadi fokus dalam lingkungan akademik. Asumsi bahwa berdandan atau berpenampilan menarik dapat menyebabkan distraksi atau tidak hormat juga mencerminkan pandangan yang kuno. Hal ini mengimplikasikan bahwa mahasiswa/mahasiswi harus membatasi ekspresi diri mereka untuk mengakomodasi kenyamanan orang lain terutama seniornya.

Praktik senioritas yang membatasi cara berdandan atau berpenampilan mahasiswa junior di kampus harus dipertanyakan. Bahkan sudah seharusnya hal seperti ini diubah. Memahami bahwa setiap individu memiliki keunikannya sendiri dan memberikan ruang bagi semua mahasiswa untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi masing-masing adalah kunci dalam menciptakan lingkungan perkuliahan yang inklusif, memberdayakan, dan mendukung pertumbuhan akademik serta pribadi bagi seluruh anggotanya.

Redaktur: Duwi Cahya

Related posts

Terjebak Malasitis, Ancaman Lupa Materi Kuliah bagi Mahasiswa?

Nilai Akademis yang Tinggi atau Pengalaman yang Banyak, Mana yang Lebih Menentukan Karier?

Kita Balas di Semester Depan: Wacana yang Tak Kunjung Terlaksana