Mengenal Lebih Jauh Budaya Suku Nias Lewat Tarian Moyo

Penulis: Hanna Sinaga

Suara USU, Medan. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak budaya tarian tradisional. Sekitar 3.000 tari tradisional tersebar di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya terdapat di Pulau Nias. Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera dan termasuk kedalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat umum lebih familiar dengan tradisi Lompat Batu, padahal Suku Nias juga memiliki budaya lain yaitu Tari Moyo.

Secara etimologi, Moyo dalam bahasa Nias berarti burung elang. Hewan unggas tersebut adalah ilham bagi masyarakat Nias dalam menciptakan gerakan tarian yang indah. Penggambaran seekor burung elang yang mengepakkan sayapnya, tanpa mengenal lelah, menaklukkan sesuatu yang bermakna bagi sesamanya dan dirinya sendiri. Tarian ini juga melambangkan keuletan dan semangat bersama dalam mewujudkan sesuatu yang diinginkan.Terdapat sedikitnya tiga versi tentang asal-usul Tari Moyo.

  1. Versi pertama menyebutkan bahwa Tari Moyo awalnya diilhami dari pertikaian antara seekor burung elang dengan seekor induk ayam. Dalam pertikaian tersebut, induk ayam mengerahkan seluruh kekuatan untuk melindungi anaknya dari serangan elang yang ganas. Dengan tekad yang kuat, induk ayam berhasil melampaui batasannya dan mengimbangi setiap gerakan elang tersebut.
  2. Versi kedua menceritakan bahwa Tari Moyo berasal dari kisah penantian seorang gadis terhadap kekasihnya yang pergi berperang. Setelah sekian lama menanti, kekasih yang dicintai tidak pernah kembali. Karena kerinduannya, Ia lalu berdoa dalam hati agar para leluhur mengutuknya menjadi seekor burung elang sehingga dapat terbang ke langit dan mencari kekasihnya tersebut. Kutukan tersebut baru akan dicabut apabila Ia berhasil menemukan kekasihnya. Para leluhur kemudian mengabulkan keinginannya, lalu Ia pun menjadi burung elang dan segera terbang seperti yang diinginkan. Bertahun-tahun setelah itu Ia pun berhasil mengelilingi seluruh pulau, tetapi Ia tidak pernah menemukan kekasih yang dicari. Perempuan itu pun merasa kecewa dan akhirnya terjebak dalam wujud burung elang. Konon ada yang percaya bahwa burung elang itu masih tetap hidup dan terus terbang mengelilingi pulau Nias dengan harapan bahwa ia akan menemukan kekasihnya yang telah lama hilang
  3. Versi ketiga berasal dari Nias Selatan, yakni Tari Moyo Fanaro Bato (tarian elang mendirikan batu). Versi ini mengatakan bahwa Tari Moyo adalah bentuk penghormatan terhadap para pemuda yang dianggap berjasa dalam melindungi desa dari musuh. Esensi dari tarian ini adalah penghargaan terhadap para prajurit pemberani berupa upacara fanaro bato (mendirikan batu). Adapun dalam Tari Moyo Fanaro Bato ini para penari melantunkan hoho (syair) berupa puji-pujian tentang kepahlawanan dan keberanian. Puncak dari prosesi ini adalah pengambilan batu besar memanjang yang kemudian didirikan di depan rumah para pahlawan sebagai monumen atau tanda bahwa rumah itu dihuni oleh pahlawan perang (balő samu’i). Prosesi pendirian monumen batu tersebut dinamai upacara bato nitaru’ő.

Dalam Tarian Moyo (tarian elang) terdapat beberapa ragam gerakan yaitu gerak kepak sayap (mamologo afi), gerak berhadapan (fataho), gerak berselisih (faonda), gerak lingkaran (sieligo), gerak berkomunikasi (fahuhuo), lalu kembali (mangawei). Tari Moyo ini ditampilkan dengan iringan musik menggunakan alat musik tradisional genderang serta gong khas Nias dan nyanyian dengan lantunan syair. Irama yang dimainkan diawali dengan tempo pelan kemudian cepat yang sesuai dengan gerakan penari serta syair yang dilantunkan. Syair-syair (hoho) yang dilantunkan berisi tentang nasehat, hikayat, kisah-kisah leluhur dan keadaan desa serta fo’ere (doa) yang dilantunkan sebagai persembahan kepada leluhur di masa lalu.

Tari moyo merupakan tarian yang istimewa, oleh karena itu tarian ini dulunya ditampilkan dalam acara-acara tertentu, seperti penyambutan saat panglima kembali dari berperang, dalam acara-acara kerajaan untuk menghibur para raja dan ratu serta menyambut para tamu-tamu raja dan dimainkan oleh gadis-gadis asli Nias. Selain itu, tarian ini juga ditampilkan pada pesta adat perkawinan. Pada pesta adat perkawinan masyarakat Nias, Tari Moyo (tari elang) yang ditampilkan selalu dimainkan secara beriringan dengan urutan yang pertama adalah Lompat Batu. Kemudian dilanjutkan dengan Tari Perang yang bersambungan dengan Tari Moyo dan diakhiri dengan Tari Fogaele. Setelah itu, para penari membawakan persembahan sirih kepada pengantin dan para tamu yang datang

Perubahan yang terjadi sekarang ini adalah bahwa Tari Moyo tidak lagi ditujukan sebagai bagian dari ritual masyarakat, sebab sistem kepercayaan sudah beralih dari penyembahan terhadap leluhur menjadi agama Kristen dan Katolik. Tetapi meskipun demikian, tarian ini tidak lantas kehilangan esensinya. Hal ini menunjukkan bahwa Tari Moyo memiliki nilai pendidikan sosial yang dapat dikembangkan sebagai sarana pembentukan karakter yang kuat, diantaranya:

  1. Menumbuhkan rasa kebersamaan
  2. Rasa ikut memiliki
  3. Rasa tanggungjawab
  4. Kekompakan
  5. Rasa keterikatan dan rasa sayang

Hal ini menegaskan bahwa tarian kini tidak lagi dilakukan untuk kesenangan, untuk kepuasan, mengisi waktu luang, mengekspresikan diri, dan hal-hal lain yang sifatnya personal, tetapi juga dapat diarahkan untuk pembangunan karakter serta nilai-nilai luhur bagi generasi muda yang menghadirkan lebih banyak manfaat dari sebelumnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Kuswarsantyo bahwa seni tari tidak hanya memiliki fungsi hiburan semata, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan jati diri dari seseorang dalam konteks hidup.

Redaktur: Fransiska Zebua

Related posts

Mencari Berkah di Momen Idul Adha dengan Lagu “Cari Berkah” oleh Wali

Tari Tatak Garo-Garo, Perayaan Syukur dan Cinta dari Suku Pakpak

Merasakan Bagaimana Waktu Berharga Lewat Lagu Lekas