Meninjau Fenomena Diwajibkannya Membeli Buku Cetak dari Dosen, Apakah Wajar?

Oleh: Yulia Tarigan

Suara USU, Medan. Dalam dunia akademis, pembelajaran menjadi sebuah perjalanan yang tak hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang keterlibatan, interaksi, dan kadang kala, tantangan. Namun, apakah wajar jika salah satu dari tantangan tersebut adalah kewajiban untuk membeli buku cetak yang ditetapkan oleh dosen?

Pertanyaan ini mencetuskan debat yang hangat di kalangan mahasiswa dan praktisi pendidikan. Sebagian pihak berpendapat bahwa kewajiban membeli buku cetak dari dosen adalah hal yang wajar, seiring dengan kebutuhan untuk mendukung proses pembelajaran yang optimal. Di sisi lain, ada juga yang mengkritik praktik ini sebagai tindakan yang membebani mahasiswa secara finansial.

Pertama-tama, jika kita telaah dari sudut pandang dosen. Dosen, sebagai pengajar, memiliki tanggung jawab untuk memberikan materi pembelajaran yang berkualitas kepada mahasiswa. Buku cetak seringkali menjadi salah satu sumber utama materi pembelajaran yang dibutuhkan. Dalam beberapa kasus, buku cetak yang ditulis oleh dosen sendiri mungkin merupakan materi yang paling sesuai dan relevan dengan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, mewajibkan mahasiswa untuk membeli buku cetak bisa dianggap sebagai langkah yang beralasan untuk memastikan pemahaman yang mendalam terhadap materi pembelajaran.

Namun, di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan dampak finansial yang ditimbulkan bagi mahasiswa. Buku cetak seringkali memiliki harga yang cukup tinggi, dan mewajibkan mahasiswa untuk membelinya dapat menjadi beban tambahan yang tidak bisa diantisipasi. Terlebih lagi, dalam beberapa kasus, buku cetak tersebut mungkin hanya digunakan dalam satu semester atau bahkan hanya dalam satu bagian tertentu dari mata kuliah, sehingga mengakibatkan pemborosan sumber daya.

Kemudian yang perlu diperhatikan bahwa pembelian buku cetak dari dosen tidak boleh menjadi faktor tunggal yang memengaruhi penilaian akademis seorang mahasiswa. Seorang dosen yang memberi nilai bagus kepada mahasiswa yang membeli buku dari mereka, tanpa mempertimbangkan pencapaian akademis atau kontribusi mahasiswa dalam kelas, tentu saja tidak adil dan tidak etis. Penilaian akademis harus didasarkan pada pemahaman materi, keterlibatan dalam pembelajaran, kualitas pekerjaan, dan pencapaian mahasiswa secara keseluruhan.

Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa kriteria penilaian akademis yang diterapkan oleh dosen adalah obyektif dan adil, dan tidak dipengaruhi oleh faktor di luar prestasi akademis mahasiswa. Hal ini dapat dicapai melalui penggunaan metode penilaian yang jelas dan transparan, serta memastikan bahwa dosen memberikan umpan balik yang konstruktif dan berdasarkan bukti kepada setiap mahasiswa.

Dengan demikian, dalam menilai apakah wajar mewajibkan mahasiswa untuk membeli buku cetak dari dosen, penting untuk mempertimbangkan tidak hanya aspek aksesibilitas materi dari sumber lain, tetapi juga memastikan bahwa penilaian akademis tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti pembelian buku dari dosen. Komitmen terhadap keadilan, transparansi, dan kualitas dalam proses pembelajaran adalah kunci dalam menciptakan lingkungan akademis yang inklusif dan berkelanjutan.

Sebagai solusi, beberapa institusi pendidikan telah mulai mengadopsi model alternatif, seperti penggunaan materi pembelajaran digital atau penyediaan buku cetak secara kolektif di perpustakaan universitas. Pendekatan ini dapat membantu mengurangi beban finansial bagi mahasiswa sambil tetap memastikan akses terhadap materi pembelajaran yang diperlukan.

Sejalan dengan perkembangan teknologi, pilihan-pilihan ini semakin menjadi alternatif yang layak untuk mempertimbangkan. Namun demikian, perdebatan tentang kewajiban membeli buku cetak dari dosen tetaplah sebuah isu yang kompleks yang membutuhkan dialog terbuka antara semua pihak yang terlibat. Di tengah-tengahnya, penting untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan akademis, tetapi juga kesejahteraan finansial dan keterjangkauan bagi mahasiswa, yang merupakan inti dari misi pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.

Redaktur: Yuni Hikmah

Related posts

Nilai Akademis yang Tinggi atau Pengalaman yang Banyak, Mana yang Lebih Menentukan Karier?

Kita Balas di Semester Depan: Wacana yang Tak Kunjung Terlaksana

Mendekati UAS, Tugas Semakin Ganas: Mengapa?