Oleh: Debora Gracia Nauli Siregar
Suara USU, Medan. Pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, menjadi salah satu peristiwa yang mengejutkan dunia bisnis Tanah Air. Pabrik yang dulunya menjadi sumber penghidupan kini hanya menyisakan bayang-bayang kejayaan. Para pekerja yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun di perusahaan ini harus menerima kenyataan pahit ketika Sritex mengumumkan keputusan yang berdampak langsung pada ribuan karyawan, yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat proses pailit yang dihadapi perusahaan pada 28 Februari 2025.
Memang ada banyak faktor yang menyebabkan kejatuhan Sritex hingga berujung pada status pailit pada Oktober 2024. Kejatuhan ini berawal pada 2021, ketika Sritex menghadapi penurunan permintaan pasar untuk produk tekstil, yang diperburuk oleh akumulasi utang hingga mencapai Rp24,3 triliun. Sehingga untuk mempertahankan operasionalnya, Sritex meminjam dana dari beberapa bank yang justru semakin meningkatkan beban utang. Kondisi ini akhirnya berujung pada gugatan yang dilayangkan PT Indo Bharat Rayon ke Pengadilan Niaga Kota Semarang terkait tunggakan utang pada 24 Oktober 2024. Tidak hanya sampai disitu, jatuhnya Sritex juga di perparah oleh faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik dan banjirnya produk tekstil murah dari China mempercepat kehancuran perusahaan ini.
Namun, mungkinkah kita menutup mata terhadap ironi besar yang terjadi? Pada akhir 2024, Presiden Prabowo Subianto pernah dengan lantang berjanji untuk menyelamatkan Sritex. Bahkan Presiden Prabowo kala itu mengambil langkah tegas dengan menginstruksikan empat kementerian terkait yakni: Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Ketenagakerjaan. Untuk segera berkoordinasi dan mencari solusi terbaik guna mencegah PHK massal dan memastikan kelangsungan usaha Sritex.
Dan sebagai tindak lanjut, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, langsung turun tangan dan melakukan pengecekan di lapangan. Dalam pertemuan dengan manajemen dan serikat pekerja Sritex, Wamenaker menegaskan bahwa tidak akan ada PHK terhadap karyawan Sritex. Ia memastikan bahwa pemerintah bersama perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga keberlanjutan perusahaan serta hak-hak pekerja.
“Saya lebih baik kehilangan jabatan daripada harus melihat kawan-kawan buruh dipecat. Saya lebih ikhlas kehilangan jabatan daripada melihat saudara-saudara saya di-PHK. Saya tidak akan pernah ikhlas dan saya tetap di garis depan memperjuangkan nasib ibu-ibu dan bapak-bapak semua,” ujarnya, dikutip dari iNews, dalam istigasah akbar yang dihadiri ribuan karyawan Sritex di Lapangan Sandang Sejahtera, kompleks pabrik PT Sritex, Kabupaten Sukoharjo, Jumat (15/11/2024).
Hari ini apa yang tersisa dari janji-janji itu? Tanggal 28 Februari 2025 menjadi saksi bahwa ribuan buruh akhirnya tetap di-PHK. Sritex runtuh, janji pemerintah pun turut ambruk. Dan kegagalan pemerintah dalam menjaga kelangsungan Sritex memperlihatkan lemahnya kebijakan industri nasional. Dan seharusnya pemerintah sejak dini menciptakan regulasi yang melindungi industri lokal dari serbuan impor dan memberikan insentif kepada perusahaan nasional agar tetap kompetitif. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah membiarkan industri tekstil bertarung sendirian di pasar yang tidak adil.
Disisi lain, Partai Buruh turut memberikan tanggapan yang keras terhadap kasus PHK massal yang terjadi di Sritex. Mereka menilai bahwa Kementerian Ketenagakerjaan, yang seharusnya menjadi lembaga yang melindungi hak-hak pekerja, gagal menjalankan tugasnya dengan baik.
“Partai Buruh meminta copot itu menaker dan wamenaker. Ngurusin Sritex saja tidak bisa, apalagi ngurusin pabrik-pabrik di seluruh Indonesia,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, seperti dikutip dari Kompas.com (2/03/2025). Said juga mengatakan bahwasanya PHK karyawan Sritex Ilegal dan bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Di media sosial, respons publik terhadap kasus ini pun beragam. Ada yang menunjukkan empati kepada para pekerja, tetapi ada juga yang sinis dan menyalahkan pilihan politik buruh saat pemilu lalu. Bahkan, ada yang menyebut bahwa ini adalah konsekuensi dari dukungan buruh kepada pasangan calon tertentu. Namun terlepas dari semua itu, satu hal yang pasti, buruh bukanlah sekadar angka atau alat politik. Mereka adalah manusia yang memiliki keluarga untuk dinafkahi dan kehidupan yang harus diperjuangkan. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret, bukan hanya Sritex yang akan tumbang, tetapi juga kepercayaan buruh terhadap negara. Jika pemerintah hanya hadir ketika meminta suara, tetapi absen saat buruh membutuhkan bantuan, maka ketidakpercayaan terhadap pemimpin akan semakin mengakar.
Yang dibutuhkan para buruh bukan sekadar kata-kata manis di podium. Mereka butuh kepastian, butuh kebijakan yang berpihak, butuh solusi nyata yang bisa menyelamatkan kehidupan mereka. Jika pemerintah sungguh peduli, ini saatnya bertindak. Perusahaan-perusahaan tekstil lain juga tengah menghadapi ancaman serupa. Jika Sritex jatuh tanpa upaya penyelamatan yang konkret, bukan tidak mungkin industri tekstil nasional perlahan akan tergerus habis.
Kisah Sritex adalah pengingat bagi kita semua bahwa buruh bukan sekadar roda penggerak ekonomi yang bisa dibuang begitu saja. Mereka adalah manusia dengan keluarga yang harus diberi makan, anak-anak yang harus bersekolah, dan masa depan yang seharusnya tidak direnggut begitu saja. Pemerintah boleh saja membuat janji baru di masa depan, tetapi buruh tidak akan lupa bagaimana janji-janji lama mereka diabaikan begitu saja.
Redaktur: Jesika Yusnita laoly