Oleh: Yolanda Febriana Sinaga
Suara USU, Medan. Akhir Februari 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar mengejutkan, terkait isu bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax diduga dioplos dengan Pertalite. Isu ini mencuat setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan korupsi yang melibatkan PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam periode 2018–2023. Dalam liputan Kompas, penyelidikan menemukan indikasi bahwa Pertalite (RON 90) dicampur dengan Pertamax (RON 92) di depo atau tempat penyimpanan BBM, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun pada tahun 2023.
Praktik pengoplosan ini berdampak besar terhadap keuangan negara. Kejagung mengungkap bahwa penyalahgunaan sistem distribusi BBM ini menyebabkan hilangnya potensi pemasukan dari pajak serta subsidi energi yang seharusnya dialokasikan dengan tepat. Selain itu, praktik ini juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan energi nasional.
Menanggapi isu ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS) segera melakukan uji sampel terhadap BBM yang beredar di pasaran. Dilansir dari Kontan.co.id, uji laboratorium yang dilakukan LEMIGAS terhadap sampel BBM yang diambil dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang serta sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang Selatan menunjukkan bahwa Research Octane Number (RON) dari sampel-sampel tersebut memenuhi spesifikasi yang ditetapkan pemerintah. Hasil ini mengindikasikan bahwa kualitas BBM masih sesuai standar (CNN Indonesia, 2025).
Terdapat regulasi terkait spesifikasi Pertamax yang diatur berdasarkan SK Dirjen Migas No. 3674K/24/DJM/2006, yang menetapkan:
- Bilangan Oktan Riset (RON) minimal 92
- Kandungan sulfur maksimal 0.05%
- Kandungan timbal maksimal 0.013 g/L
- Kandungan benzena maksimal 5% v/v
- Tekanan uap antara 45-60 kPa
- Kandungan pewarna 0.13 gr/100 L
Dilansir dari Tempo, menanggapi pernyataan dari Kejaksaan Agung, Pelaksana Tugas Harian (PTH) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, menyampaikan bahwa Pertamax mengandung zat tambahan seperti afton yang digunakan untuk meningkatkan performa bahan bakar. Namun, Kejagung membantah klaim tersebut.
“Tetapi penyidik menemukan hal yang berbeda. Ada RON 90 (Pertalite) atau bahkan di bawahnya, yakni RON 88, yang dicampur dengan RON 92 (Pertamax). Jadi, ini adalah pencampuran RON dengan RON sebagaimana yang telah saya sampaikan tadi,” ujar perwakilan Kejagung di Kantor Kejaksaan Agung pada Rabu (26/2/2025), seperti dimuat Kompas.com.
Di sisi lain, dilansir dari Kompas, PT Pertamina (Persero) membantah tuduhan tersebut. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa narasi mengenai pengoplosan BBM Pertalite dan Pertamax tidak sesuai dengan fakta yang disampaikan Kejagung.
“Di Patra Niaga, BBM yang kami terima di terminal sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tanpa proses perubahan RON. Namun, untuk Pertamax, kami memang menambahkan zat aditif guna meningkatkan performa, serta pewarna untuk membedakannya dari produk lain,” jelas Ega di Kompleks DPR RI pada Rabu (26/2/2025), seperti dimuat Bisnis.com.
Zat aditif dari Afton Chemical Corporation yang digunakan oleh Pertamina Patra Niaga dalam Pertamax bertujuan untuk meningkatkan manfaat serta nilai tambah kinerja bahan bakar tersebut.
Kejaksaan Agung memastikan bahwa para tersangka akan menghadapi tuntutan berat sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah juga berjanji untuk menindaklanjuti kasus ini hingga ke akar permasalahan guna mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Dalam kasus dugaan pengoplosan Pertamax dengan Pertalite, Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa tersangka, termasuk sejumlah pejabat di PT Pertamina Subholding serta beberapa kontraktor dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Salah satu nama yang mencuat adalah Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, yang diduga terlibat dalam manipulasi distribusi bahan bakar.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini. Nama-nama tersangka yang telah diumumkan meliputi:
- Riva Siahaan – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
- Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
- Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.
- Agus Purwono selaku VP of Feedstock Management PT Kilang Pertamina International.
- Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa.
- Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim.
- Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.
- Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.
- Edward Corne selaku VP of Trading Produk Pertamina Patra Niaga.
Selain itu, hasil penyelidikan juga mengungkap bahwa skema korupsi ini melibatkan lebih dari satu jaringan, dengan indikasi adanya kolusi antara pejabat tinggi perusahaan migas dan distributor BBM. Total kerugian negara akibat praktik ini diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun, menjadikannya salah satu skandal terbesar dalam sejarah sektor energi Indonesia.
Kejaksaan Agung memastikan bahwa para tersangka akan menghadapi tuntutan berat sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah juga berjanji untuk menindaklanjuti kasus ini hingga ke akar permasalahan guna mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Anggota DPR pun turut menyoroti kasus ini. Untuk memastikan pemeriksaan yang menyeluruh, anggota Komisi VI DPR, Sadarestuwati, menyerukan penyelidikan komprehensif. Ia mendesak pemerintah untuk memperketat regulasi serta melakukan audit menyeluruh terhadap Pertamina dan perusahaan distribusi BBM lainnya.
Menurutnya, kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan bahan bakar semakin menurun akibat berbagai penyimpangan dalam manajemen BBM, termasuk perbedaan kualitas antara Pertalite dan Pertamax.
“Pertamina seharusnya menghadirkan BBM yang murah dan berkualitas demi kesejahteraan rakyat. Namun, kasus ini justru menunjukkan sebaliknya—Pertamina seakan hadir untuk menambah penderitaan rakyat. Situasi ini sangat kacau dan bertolak belakang dengan tujuan awalnya. Sampai-sampai beredar lelucon bahwa Pertamax hanyalah Pertalite yang tidak perlu antre. Jangan salahkan rakyat jika mereka merasa ada masalah kepercayaan dan marah,” ujar Sadarestuwati seperti dikutip dari BBC News Indonesia.
Kasus ini mengungkap sisi gelap industri energi di Indonesia, di mana praktik curang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga konsumen. Transparansi dalam pengelolaan energi nasional harus ditingkatkan guna mengembalikan kepercayaan publik. Selain itu, edukasi kepada konsumen mengenai cara membedakan BBM berkualitas perlu diperkuat agar mereka lebih waspada terhadap potensi kecurangan.
Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan regulasi dalam distribusi BBM, serta memberlakukan sanksi tegas bagi oknum yang terbukti melakukan praktik pengoplosan. Di sisi lain, konsumen diharapkan lebih proaktif dalam melaporkan ketidaksesuaian kualitas BBM agar pengawasan dapat berjalan lebih efektif.
Pada akhirnya, hanya dengan komitmen bersama dalam menjaga integritas dan kualitas, kepercayaan publik dapat dipulihkan, dan industri energi nasional dapat berkembang secara sehat serta berkelanjutan.
Redaktur: Muhammad Halim