Oleh: Tochter Sunny Simamora
Suara USU, Medan. Rendahnya partisipasi mahasiswa dalam pemilu kampus di USU merupakan fenomena yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Sebagai salah satu pilar demokrasi di lingkungan universitas, pemilu kampus seharusnya menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi, memilih pemimpin yang mampu merepresentasikan kebutuhan mereka, dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masih jauh dari harapan. Ada banyak faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini, mulai dari masalah teknis hingga aspek psikologis dan budaya mahasiswa itu sendiri. Dimana budaya yang dimaksud disini adalah budaya malas.
Dari beberapa faktor tersebut salah satu penyebab utama adalah kurangnya sosialisasi yang efektif dari pihak penyelenggara menjadi salah satu kendala utama. Banyak mahasiswa tidak mendapatkan informasi yang memadai terkait waktu, lokasi, atau bahkan pentingnya pemilu kampus. Informasi sering kali hanya tersebar di lingkup tertentu, seperti grup media sosial organisasi kampus, sehingga tidak menjangkau mayoritas mahasiswa. Selain itu, beberapa mahasiswa merasa bahwa pemilu kampus hanyalah formalitas belaka tanpa dampak nyata terhadap kehidupan mereka di universitas. Hal ini diperparah dengan kurangnya transparansi dan inovasi dalam proses pemilu, yang membuat mahasiswa kehilangan kepercayaan terhadap sistem yang ada.
Kedua, budaya apatisme di kalangan mahasiswa juga memainkan peran penting. Banyak yang menganggap bahwa suara mereka tidak memiliki dampak signifikan atau bahwa hasil pemilu sudah dapat ditebak karena dominasi kelompok tertentu. Apatisme ini sering kali didukung oleh kurangnya upaya dari kandidat untuk mendekatkan diri kepada pemilih. Kandidat cenderung menyampaikan visi-misi dengan cara yang monoton dan tidak relevan dengan kebutuhan mahasiswa, sehingga gagal membangun hubungan emosional maupun intelektual dengan konstituen mereka.
Untuk meningkatkan partisipasi, perubahan nyata harus dilakukan. Penyelenggara perlu menggencarkan sosialisasi dengan cara yang kreatif, misalnya melalui media sosial, video interaktif, atau bahkan kolaborasi dengan komunitas kampus. Selain itu, penyelenggaraan debat kandidat yang menarik dan relevan dapat menjadi cara untuk membangun diskusi kritis di kalangan mahasiswa.
Pemilu kampus bukan hanya sekadar memilih pemimpin, tetapi juga merupakan pembelajaran demokrasi yang penting. Jika mahasiswa terus abai terhadap proses ini, dikhawatirkan mereka akan membawa sikap yang sama ketika terjun ke masyarakat. Oleh karena itu, membangun kesadaran kolektif akan pentingnya pemilu kampus harus menjadi tanggung jawab bersama, baik dari penyelenggara, kandidat, maupun mahasiswa itu sendiri.
Redaktur: Khalda Mahirah PanggabeanÂ