Raden Dewi Sartika: Pejuang Emansipasi Pendidikan Wanita di Indonesia

Oleh: Marwa Ahmad

Suara USU, Medan. Raden Dewi Sartika atau biasa dikenal dengan panggilan Dewi Sartika adalah salah satu pahlawan Nasional Indonesia terkhususnya dalam bidang pendidikan bagi perempuan pada masa penjajahan Belanda. Dewi Sartika lahir dari keluarga priayi (kelas bangsawan) Sunda yaitu putri dari Raden Sanagara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas pada tanggal 4 Desember 1884 di Cilengkang, Jawa Barat.

Sebagai keluarga priayi, Dewi Sartika mendapatkan pendidikan di sekolah formal Belanda yaitu di Earste Klasse School (EKS). Minat terhadap dunia pendidikan sudah timbul Ketika Dewi Sartika masih kecil. Kegemarannya dalam membaca dan menulis membuat Dewi Sartika sering kali bermain peran sebagai guru dengan teman-temannya.

Orangtua Dewi Sartika merupakan pejuang Indonesia yang menentang pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu. Hal tersebut membuat orangtuanya diasingkan ke Ternate dan harta keluarga mereka disita oleh pemerintahan pada saat itu.  Pada masa krisi tersebut, Dewi Sartika dibawa ke rumah pamannya, Raden Demang Surya Kartahadiningrat.

Krisis yang terjadi pada keluarganya membuat Dewi Sartika harus menghentikan pendidikannya di Earste Klasse School (EKS). Namun, hal tersebut tidak membuat Dewi Sartika menyerah, benih-benih semangat muncul pada dirinya untuk memajukan pendidikan bagi perempuan yang pada masa itu masih terpaku pada peran gender. Pendidikan yang diberikan kepada gadis remaja hanya bertujuan untuk menyiapkan diri mereka untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga saja. Dewi Sartika memiliki slogan yang melekat pada dirinya berbunyi, “Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hirup” yang berarti menjadi perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar bisa hidup.

Usaha Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah untuk perempuan di Jawa Barat awalnya tidak disetujui oleh bupati Bandung Martanegara. Namun, seiring berjalannya waktu, pada 16 Januari 1904 dengan kegigihannya, Dewi Sartika berhasil mendirikan Sekolah Isteri di Paseban Kulon Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut sebagai simbol kebangkitan harkat dan martabat perempuan atas dirinya. Pada awal berdirinya, sekolah tersebut hanya memiliki jumlah 20 murid dengan dua ruangan untuk belajar dan tiga tenaga pendidik yaitu Raden Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit.

Sekolah tersebut menjadi dobrakan terhadap pendidikan perempuan dari semua golongan, tidak hanya dari kalangan priyayi saja. Prinsip tersebut membuat Dewi Sartika mendapatkan tantangan dari golongan atas terutama kelompok wanita priyayi pada masa itu. Dewi Sartika tidak pernah mengeluh dengan banyaknya tantangan yang dihadapinya, bahkan ia terobati dengan melihat kaum perempuan dapat memperoleh pendidikan di sekolah yang ia dirikan.

Memasuki usia senjanya pada tahun 1947, akibat dari agresi militer Belanda yang terjadi pada saat itu membuat Dewi Sartika mengungsi bersama warga dan pejuang yang terus melakukan perlawanan terhadap Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada saat di pengungsian, Dewi Sartika menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Setelah keadaan cukup aman, makamnya dipindahkan di kompleks pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar.

Redaktur: Yuni Hikmah

Related posts

Lafran Pane, Sosok Inspiratif Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam

Tirto Adhi Soerjo, Sang Pelopor Pers di Indonesia

Roehana Koeddoes, Pendiri Surat Kabar Perempuan Sekaligus Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia