(Sumber: Tribun Jogja -Tribunnews.com)
Penulis: Indira Rivany
Medan, Suara USU. Marhaban Ya Ramadhan. Tak terasa sudah beberapa hari umat muslim seluruh dunia melaksanakan ibadah puasa di bulan yang penuh berkah ini. Selain berfokus pada ibadah, bulan puasa juga identik dengan berkumpul dan makan bersama saat berbuka atau biasa dikenal dengan sebutan bukber.
Momen berbuka puasa bersama dipergunakan sebagai ajang silahturahmi. Tak hanya dengan keluarga, biasanya bukber dilaksanakan bersama teman-teman kuliah, teman-teman masa sekolah terdahulu atau lingkungan pertemanan lainnya. Tak hanya berlangsung satu hari saja, ajakan bukber berlangsung terus menerus. Setiap hari, cafe atau restoran penuh untuk acara bukber.
Terasa menyenangkan, menunggu azan maghrib bersama-sama sambil mengobrol dan mempererat tali silahturahmi. Semula bukber tidak ada yang salah namun, kendati hanya sebatas silahturahmi, tak jarang justru bukber menjadi ajang hedonisme. Apa itu hedonisme?
Istilah ini sebenarnya bukan hal yang baru, hedonisme atau akrab disebut sebagai hedon. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hedonisme merupakan pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedonisme juga turut dikaitkan dengan berfoya-foya.
Saat bulan Ramadhan, sering kali kita temui unggahan-unggahan acara buka bersama dengan menu yang mewah serta mahal luar biasa. Realita lainnya, ada saja pihak pihak yang membumbui buka bersama dengan foya-foya. Aktifitas yang harusnya cenderung sakral, berujung menjadi riya.
Hal ini, tentu saja berbanding terbalik dengan prinsip agama Islam untuk hidup sederhana. Agama islam menganjurkan umatnya untuk senantiasa hidup dalam kesederhanaan disemua tindakan. Serta menjauhkan diri dari sikap tidak puas dan menjauhkan sikap berlebihan. Sebenarnya, sah-sah saja melakukan buka bersama. Dengan catatan, lurus dan perjelas apa niat buka bersama itu sebenarnya, misalnya mempererat tali silaturahmi. Namun, yang harus digaris bawahi ialah menghapus kenyataan-kenyataan negatif seperti terlalu eksklusif.
Pilihlah kesempatan berbuka yang lebih bermakna, sendiri atau bersama-sama serta mensyukuri dan bersilaturahmi tanpa melanggar ajaran serta syariat. Tak lupa pula, sembari renungi masih banyak kaum duafa yang tak dapat menikmati berbuka karena tidak ada yang mampu dibeli dan tidak ada yang memperdulikan.
Redaktur: Khaira Nazira