Terungkap! Jawaban atas Teka-Teki IUP bagi Perguruan Tinggi

Penulis: Nikolas Supriyanto

Suara USU, Medan. Dalam kurun waktu hampir sebulan, isu pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan) bagi perguruan tinggi/kampus menjadi sebuah wacana yang dianggap bermasalah dalam RUU Minerba. Wacana pemberian IUP terhadap kampus ini tertuang dalam RUU Minerba yang akan merevisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Rencananya, pemberian IUP bagi kampus akan sejalan dengan pemberian IUP bagi koperasi, UMKM, dan ormas keagamaan. Tentunya, rencana ini menimbulkan polemik yang melahirkan banyak pertanyaan serta beragam respons. Untuk apa kampus diberikan IUP?

Saat wacana pemberian IUP kepada ormas keagamaan sudah menimbulkan kegaduhan dan dugaan politik balas budi, tentu muncul dugaan serupa terhadap wacana pemberian IUP bagi kampus dalam RUU Minerba ini. Dugaan bahwa ada upaya untuk membungkam kritik yang datang dari kampus, dalam hal ini lebih spesifik dari mahasiswa.

Secara lebih jelas, dikutip dari salah satu program milik Tempo, Bocor Alus Politik, dijelaskan bahwa pemberian IUP bagi kampus memuat kepentingan politik di dalamnya. Pemerintah berusaha meredam suara-suara mahasiswa dengan memberikan IUP kepada kampus, sehingga pejabat kampus dapat mengendalikan mahasiswa agar tidak mengeluarkan kritik dan protes terhadap pemerintah. Padahal, dalam kehidupan berdemokrasi, kritik dan protes merupakan bentuk kontrol masyarakat terhadap pemerintah.

Masalah dan Penolakan IUP bagi Kampus

Pengelolaan tambang yang tidak mudah, modal yang besar, risiko yang tinggi, serta potensi mencederai cita-cita akademik menjadi bayangan di balik wacana ini, sehingga menimbulkan kritik dan protes untuk membatalkan pemberian IUP bagi kampus. Meskipun beberapa kampus merespons secara positif, sejauh ini beberapa universitas tetap teguh pada pendiriannya untuk menolak.

Beragam dalih muncul untuk menjauhkan dugaan adanya muatan politik dalam wacana pemberian IUP ini. Dalih-dalih seperti penyerapan tenaga kerja dari kampus itu sendiri yang mengelola tambang, industri yang tidak efektif menyerap lulusan perguruan tinggi, membantu kampus dalam memperoleh pendanaan, serta potensi menurunkan UKT karena perguruan tinggi memiliki sumber pemasukan tambahan. Namun, dalih semacam ini tidak mampu menarik dukungan dari sivitas akademika untuk mendukung wacana pemberian IUP bagi kampus.

Perbedaan respons terhadap pemberian IUP tidak dapat dielakkan, meskipun penolakan lebih dominan dibandingkan dukungan. Dikutip dari Hukumonline.com dalam artikelnya yang berjudul “Menyerukan Kampus untuk Bersatu Tolak Izin Pengelolaan Tambang”, terdapat perbedaan pandangan terhadap IUP antara Forum Rektor dan Majelis Dewan Guru Besar yang terdiri atas dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi. Kecenderungan beberapa rektor mendukung IUP ini ternyata berbanding terbalik dengan reaksi para dosen yang menilai bahwa pengelolaan tambang oleh kampus akan membawa banyak masalah.

Pembatalan IUP bagi Kampus

Hari ini (18/02/2025), RUU Minerba secara resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI menjadi UU Minerba. Pengesahan ini dilakukan setelah delapan fraksi di DPR RI menyetujui RUU perubahan keempat atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Perubahan ini meresmikan pemberian IUP bagi ormas keagamaan, koperasi, dan UMKM. Sementara itu, pemberian IUP bagi kampus secara resmi dibatalkan dan tidak disertakan sejak rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 17 Februari 2025. Informasi ini dikutip dari CNN Indonesia dalam artikel berjudul “DPR Gelar Rapat Paripurna Sahkan RUU Minerba Hari Ini”.

Pembatalan ini tentu menjadi akhir dari keresahan sivitas akademika, baik mahasiswa maupun dosen, yang khawatir akan dampak pengelolaan tambang oleh kampus. Kerisauan yang terus disuarakan akhirnya membuahkan hasil, karena kampus tidak diikutsertakan sebagai lembaga yang dapat mengelola tambang atau memperoleh IUP. Namun, pemberian IUP bagi ormas dan UMKM tetap harus disoroti dan dikritisi. Berbagai polemik dalam pengelolaan tambang di luar perusahaan dapat berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat.

Setelah kisruh mengenai IUP bagi kampus, kita dapat memahami bahwa kampus selayaknya dan sepatutnya tidak berkongkalikong untuk memperoleh pemasukan melalui cara-cara yang kurang tepat (jika tidak ingin disebut tidak masuk akal). Pengelolaan tambang oleh kampus jelas lebih berisiko ketimbang bermanfaat. Sejak lama, pengelolaan tambang telah memicu konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tambang. Tidak menutup kemungkinan, kampus juga akan berkonflik dengan masyarakat jika menerima IUP dan mengelola tambang.

Tentu, hal ini mengkhianati cita-cita Tri Dharma Perguruan Tinggi, di mana salah satunya mencakup pengabdian kepada masyarakat, yang bertujuan untuk berkontribusi bagi kemajuan masyarakat. Selain itu, modal yang diperlukan untuk pengelolaan tambang sangat besar, dan sumber daya manusia yang dimiliki kampus belum tentu cukup untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul akibat aktivitas pertambangan.

Ke depan, pemerintah tidak perlu membuka wacana dan rencana yang dapat menimbulkan polemik. Pembatalan IUP bagi kampus yang dilakukan hari ini sudah menjadi langkah yang paling tepat, meskipun sekali lagi, pemberian IUP bagi ormas keagamaan dan UMKM juga memiliki risiko yang besar. Namun, setidaknya kampus tetap dapat mengambil sikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan tidak perlu berhadap-hadapan dengan masyarakat.

Kampus pada dasarnya harus memberikan perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat, bukan berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan masalah-masalah yang ditimbulkan bagi masyarakat di sekitar tambang. Kehadiran kampus tujuannya adalah untuk mendampingi masyarakat, bukan sebaliknya.

Redaktur: Muhammad Halim  

 

Related posts

Korupsi Adalah Musuh Bersama yang Diam-Diam Kita Lestarikan

POLRI DI PERSIMPANGAN KEPERCAYAAN DAN KECURIGAAN

Melemahnya Rupiah dan Menurunnya Daya Beli Masyaraka