Wajik, Warisan Budaya Kuliner Nusantara

Oleh: Putri Aisyah Silalahi

Suara USU, Medan. Wajik adalah salah satu jajanan tradisional khas Nusantara, yang terbuat dari campuran beras ketan, gula pasir atau gula Jawa, dan parutan kelapa atau santan, kemudian dipotong kotak. Nama “wajik” sendiri berasal dari kartu wajik, karena bentuknya yang mirip dengan wajik (kotak). Selain menjadi cemilan manis yang lezat, wajik juga menyimpan nilai budaya dan sejarah yang menjadikannya warisan budaya kuliner yang patut dilestarikan.

Wajik merupakan ikon kuliner yang tak lekang oleh waktu dan masuk dalam kategori jajanan sejak zaman Majapahit. Hal ini tertulis dalam Kitab Nawaruci, sebuah karya sastra berbahasa Jawa Tengah yang muncul pada masa Majapahit dan ditulis antara tahun 1500-1619M oleh Guru Siwamurt. Seiring perkembangan zaman, wajik tidak hanya disajikan dalam ritual keagamaan, tetapi juga menjadi hidangan populer dalam berbagai acara, seperti pernikahan, hajatan, dan syukuran. Wajik pun digemari di berbagai daerah di Indonesia, melahirkan variasi wajik dengan ciri khas masing-masing.

Di Jawa, wajik dikenal dengan berbagai nama, seperti wajik bungkus, wajik gembong, dan wajik konon. Di Madura, terdapat wajik sumsum yang terbuat dari tepung beras dan santan. Di Sumatera, wajik dikenal sebagai “pulut manis” yang memiliki tekstur lebih padat. Di Kalimantan, wajik diolah dengan gula aren, menghasilkan rasa yang unik dan istimewa. Di Sulawesi, wajik dikenal sebagai Bajek (Bugis), Wajek (Makassar), dan Golla Kambu (Mandar). Setiap daerah memiliki ciri khas dalam pembuatan dan penyajian wajik. Di Jawa, wajik biasanya dibungkus dengan daun pisang atau daun kelapa muda, sedangkan di Sumatera, wajik sering dipotong berbentuk belah ketupat. Variasi rasa juga bermunculan, mulai dari wajik original dengan gula merah, hingga wajik pandan, wajik durian, dan wajik coklat.

Kelezatan wajik yang manis legit, dengan tekstur pulen, telah memikat lidah masyarakat di berbagai daerah selama berabad-abad. Rasa manisnya sering ditambah dengan aroma pandan dan vanili. Meskipun terkadang wajik memiliki tekstur seperti nasi yang masih mentah, ketika dimakan akan terasa empuk dan mudah digigit. Wajik bukan hanya memanjakan lidah dengan kelezatannya, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam, seperti ketika diberikan sebagai kado pernikahan melambangkan harapan agar hubungan pernikahan tetap lekat dan langgeng.

Sebagai pewaris generasi penerus bangsa, kita patut bersyukur dan bangga akan adanya wajik. Di era modern ini, di tengah gempuran budaya asing, wajik perlu terus dilestarikan dan dipromosikan sebagai bagian dari warisan budaya kuliner Nusantara.

Redaktur: Hanna Letare

Related posts

Pukis Sehat, Inovasi Cemilan Khas Banyumas untuk Mengisi Libur Kuliah

Keunikan Kacang Sihobuk, Hasil Sangrai dengan Pasir dan Api Kayu Bakar

Rekomendasi Olahan Berbahan Dasar Daging Sapi