Reporter: Muhammad Shalihul Amri
Suara USU, Medan. Menjelang waktu berbuka, ratusan warga Medan berkumpul di Masjid Raya Al Mashun untuk menikmati bubur sup, sajian khas yang telah menjadi tradisi turun-temurun selama Ramadhan. Tradisi ini telah berlangsung sejak era Kesultanan Deli dan tetap lestari hingga kini sebagai bentuk kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Hamdan, koordinator masak di Masjid Raya Al Mashun, menjelaskan bahwa tradisi berbuka puasa ini sudah ada sejak masa Kesultanan Deli. “Dulu, pada bulan suci Ramadhan, Sultan menyiapkan takjil berupa bubur pedas khas Melayu. Bubur itu dimasak oleh pihak kesultanan dan diantarkan ke masjid untuk dibagikan kepada siapa saja yang berbuka,” ujarnya. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini tetap dipertahankan, meskipun terjadi perubahan dari bubur pedas menjadi bubur sup.
Menurut Hamdan, perubahan ini bukan disebabkan oleh faktor pendanaan, melainkan perkembangan selera dan kebiasaan masyarakat. “Dulu, bubur pedas dibuat dengan banyak rempah dan sudah dipersiapkan jauh sebelum Ramadhan. Rempah-rempahnya dikeringkan terlebih dahulu. Masyarakat Melayu zaman dulu memang terbiasa dengan makanan kaya rempah dan tanpa tambahan penyedap buatan,” katanya. Kini, meskipun bubur sup menjadi pilihan utama, proses memasaknya tetap mempertahankan prinsip makanan sehat tanpa menggunakan penyedap rasa buatan.
Bagi masyarakat yang datang, tradisi ini bukan sekadar soal makanan, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan keunikan tersendiri. Habib Rizky Lubis, salah satu pengunjung yang rutin berbuka di Masjid Raya Al Mashun, mengungkapkan bahwa sajian bubur sup ini memberikan pengalaman berbeda dibandingkan berbuka puasa di tempat lain. “Bubur sup ini menjadi salah satu makanan tradisi, jadi ada getaran tersendiri bagi saya. Selain itu, bubur sup ini hanya ada di masjid-masjid lama yang masih menyajikan makanan khas Melayu ini,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa keberadaan Masjid Raya sebagai salah satu peninggalan Kesultanan Deli menjadi daya tarik tersendiri bagi tradisi berbuka ini. “Masjid Raya ini kan salah satu masjid kesultanan, dan masih ada hubungannya dengan Sultan Deli sekarang. Kesultanan Deli adalah kesultanan Melayu, jadi ini adalah tradisi yang mereka pertahankan. Itu yang membuatnya menarik,” ujar Habib Rizky.
Bagi sebagian besar masyarakat Medan, berbuka puasa di Masjid Raya Al Mashun sudah menjadi agenda tahunan. “Hampir tiap tahun saya berbuka di sini,” tambahnya. Ia juga menilai rasa bubur sup yang disajikan cukup khas, terutama karena jarang ada orang yang memasaknya dengan tambahan lauk seperti anyang.
Tradisi berbuka puasa di Masjid Raya Al Mashun bukan sekadar soal makanan, tetapi juga simbol kebersamaan dan gotong royong. Meskipun mengalami perubahan bentuk sajian, semangat berbagi yang diwariskan sejak masa kesultanan tetap hidup di tengah masyarakat Medan, menjadikan tradisi ini bagian dari identitas budaya yang terus dijaga.
Redaktur: Khairani
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.