
Oleh: Chairani
Suara USU, Medan. Masyarakat kelas menengah ibarat pejalan kaki yang terperangkap di gurun ekonomi yang luas dan kering. Mereka membawa mimpi-mimpi tentang rumah idaman, pendidikan tinggi untuk anak-anak, dan masa pensiun yang nyaman. Namun realita selalu tak seindah harapan, badai inflasi, gelombang PHK, pengangguran, harga kebutuhan pokok yang terus meroket, belum lagi adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk barang mewah, iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan yang terbaru adanya efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah semakin membuat kelas menengah tertatih-tatih mencari setetes kesejahteraan di tengah carut marut ekonomi.
Masyarakat kelas menengah sering dianggap sebagai tulang punggung yang menggerakkan roda perekonomian negara. Mereka adalah kelompok yang berkontribusi besar terhadap konsumsi domestik, menjadi sumber penerimaan pajak negara, dan menjadi penggerak utama sektor industri serta jasa. Maka dari itu setiap perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat kelas menengah kerap kali menjadi pihak yang paling berdampak. Masyarakat kelas menengah dianggap terlalu kaya untuk menerima subsidi pemerintah, tetapi mereka tidak terlalu berkecukupan untuk mandiri secara finansial.
Dilansir dari Australian Broadcasting Corporation, definisi masyarakat kelas menengah menurut laporan World Bank yang berjudul Aspiring Indonesia-Expanding Middle Class adalah mereka yang punya pengeluaran sebesar Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan per kapita. Mengutip dari Tempo, pada Maret 2024 Badan Pusat Statistik menetapkan nilai garis kemiskinan nasional sebesar Rp582.893 per kapita perbulan. Artinya, masyarakat Indonesia tergolong kelas menengah adalah kelompok yang memiliki rentang pengeluaran antara Rp2.040.262 sampai Rp9.909.844 per kapita per bulan.
Berdasarkan data dari BPS menunjukkan bahwa pada Februari 2024 terjadi inflasi sebesar 2,75%. Kenaikan gaji yang tidak sebanding dengan kenaikan harga barang, sementara biaya pendidikan, cicilan rumah, dan transportasi terus membengkak, membuat banyak pekerja kelas menengah seperti pekerja kantoran, guru, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang kelas menengah, hingga pegawai sektor swasta mulai merasakan tekanan ini. Dunia usaha juga tak luput dari gejolak ekonomi. Banyak Start-Up yang melakukan efisiensi, sementara perusahaan besar memangkas tenaga kerja untuk bertahan.
Guncangan ekonomi yang datang bertubi-tubi – dari pandemi, inflasi, hingga ketidakpastian ekonomi global – telah mengguncang stabilitas masyarakat kelas menengah. Dilansir dari Tempo jumlah penduduk tergolong kelas menengah di Indonesia menyusut dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Artinya, hampir 10 juta orang keluar dari kategori kelas menengah dan terperosok ke zona kelompok rentan ekonomi. Data tersebut menggambarkan betapa kerasnya tekanan ekonomi meremas daya beli dan kestabilan yang harus dihadapi masyarakat kelas menengah sebagai kekuatan penopang stabilitas ekonomi nasional.
Penurunan jumlah masyarakat kelas menengah memberikan dampak bagi perekonomian nasional. Pertama, konsumsi domestik akan menurun. Jika konsumsi menurun, pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Kedua, jika masyarakat kelas menengah menurun, penerimaan pajak akan berkurang, sehingga pembiayaan program-program pembangunan akan terganggu. Ketiga, stabilitas keuangan terganggu. Dalam situasi pendapatan yang menurun, banyak rumah tangga kelas menengah terpaksa meningkatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dapat meningkatkan risiko gagal bayar dan menekan kestabilan sektor perbankan. Keempat, ketika masyarakat kelas menengah menurun, jurang antara di kaya dan si miskin akan semakin lebar. Hal ini dapat memicu ketidakstabilan sosial dan politik yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan nasional.
Di tengah panasnya gurun ekonomi, masyarakat kelas menengah harus menemukan strategi agar tetap bisa bertahan. Strategi dengan tidak mengandalkan satu sumber penghasilan menjadi salah satu pilihan bertahan. Banyak profesional mulai mencari tambahan penghasilan dari pekerjaan sampingan, investasi saham, bisnis kecil-kecilan, bahkan menjadi pekerja lepas di berbagai bidang. Selain itu jika dulu kelas menengah terbiasa dengan gaya hidup konsumtif, kini mereka mulai lebih selektif. Gaya hidup minimalis dan konsumsi berbasis kebutuhan menjadi tren di kalangan kelas menengah untuk bertahan di tengah carut marut ekonomi.
Pemerintah dan sektor swasta harus berperan aktif dalam memberikan angin segar bagi masyarakat. Inisiatif pemerintah seperti dengan memberikan subsidi yang tepat sasaran dan pengawasan harga dapat membantu daya beli masyarakat. Hal ini ibarat memberikan nafas segar di tengah udara panas. Kemudian berinvestasi untuk peningkatan keterampilan masyarakat, terutama di bidang digital dan teknologi. Dengan pelatihan yang relevan, tenaga kerja bisa lebih siap menghadapi persaingan global. Adanya kolaborasi dan kemitraan antara pemerintah dan pihak swasta dapat menciptakan sinergi dan mendukung inovasi terutama di sektor teknologi akan memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.
Perjalanan kelas menengah ibarat melintasi gurun kering yang penuh tantangan. Dari inflasi yang mencekik, gaji yang stagnan, hingga ancaman gelombang PHK serta beban pajak yang memberatkan, setiap aspek kehidupan kelompok kelas menengah diwarnai ketidakpastian ekonomi. Namun, dibalik kerasnya perjalanan itu, terdapat harapan untuk menemukan tempat di mana kesejahteraan bisa tumbuh kembali melalui strategi keuangan yang bijak, diversifikasi ekonomi, dan kebijakan ekonomi yang lebih adil. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat memiliki peran masing-masing untuk perubahan. Perubahan tidak terjadi dalam semalam, setiap langkah kecil yang diambil bersama akan mengarah pada transformasi yang lebih baik.
Redaktur: Fatih Fathan Mubina
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.