SUARA USU
Opini

Melemahnya Rupiah dan Menurunnya Daya Beli Masyaraka

Ilustrator: Emmi Simatupang

Oleh: Nazirotun Nikmah

Suara USU, Medan. Nilai tukar rupiah terus melemah hingga mendekati Rp16.100 per dolar AS, memicu kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat. Mahasiswa pun mulai merasakan dampaknya, terutama dengan kenaikan harga barang-barang impor dan kebutuhan sehari-hari.

Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat, arus modal keluar dari negara berkembang, serta ketidakpastian ekonomi global. Di sisi lain, asumsi nilai tukar dalam APBN 2025 yang dipatok pada Rp15.200 per dolar AS berpotensi tidak tercapai, yang dapat berdampak pada pembengkakan anggaran subsidi energi dan utang luar negeri. Hal ini juga berisiko memengaruhi sektor lain, termasuk pendidikan. Potensi pengurangan anggaran pendidikan hingga penundaan program beasiswa menjadi sorotan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2025, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48 persen secara month-to-month (mtm), dengan inflasi tahun kalender sebesar 1,24 persen dan inflasi tahunan sebesar 0,09 persen. Meskipun deflasi sering dikaitkan dengan penurunan harga barang, kondisi ini juga dapat mencerminkan daya beli masyarakat yang semakin lemah akibat menurunnya pendapatan.

Selain pedagang, mahasiswa juga turut merasakan dampak dari menurunnya daya beli. Fika, salah satu mahasiswa USU, mengungkapkan keluhannya terkait kondisi ekonomi saat ini. “Sekarang apa-apa makin mahal. Mau beli apa aja porsinya jadi makin sedikit, kadang barangnya juga susah dicari. Uang seratus ribu yang dulu rasanya gede, sekarang udah nggak ada harganya. Padahal udah diirit-irit, tapi tetap aja kurang,” ungkapnya.

Pedagang makanan di sekitar USU juga mengalami kondisi serupa. Ibu Lusi, yang telah berjualan selama 15 tahun, mengatakan bahwa hampir semua harga mengalami kenaikan. “Kami terpaksa memperkecil porsi gorengan, tapi tetap menjual dengan harga Rp5.000 agar mahasiswa masih mampu membeli,” katanya.

Saat ditanya lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa harga bahan baku naik sekitar 50 persen. “Sekarang jauh lebih sulit dibanding sebelumnya. Harga barang naik semua, tapi yang penting jualan tetap lancar,” tambahnya.
Dari sudut pandang mahasiswa, ada beberapa hal yang menjadi perhatian utama.

Pertama, ketergantungan pada subsidi pendidikan semakin berisiko. Dengan meningkatnya beban subsidi energi, sektor pendidikan bisa menjadi salah satu sasaran pengurangan anggaran. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas fasilitas kampus hingga menghambat program bantuan mahasiswa.

Kedua, biaya hidup semakin tidak stabil akibat kenaikan harga kebutuhan pokok, listrik, dan transportasi. Mahasiswa yang bergantung pada kiriman orang tua atau tidak memiliki penghasilan tambahan harus menghadapi tekanan finansial lebih besar.

Ketiga, akses pendidikan tinggi menjadi tantangan tersendiri. Ketika daya beli masyarakat menurun, keluarga berpenghasilan menengah ke bawah harus mempertimbangkan ulang untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Hal ini menjadi ancaman serius bagi pemerataan pendidikan di Indonesia.
Pemerintah telah menetapkan target inflasi 2025 sebesar 2,5 persen ±1 persen, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,0–5,3 persen. Namun, pelemahan nilai tukar rupiah dan tekanan harga yang tidak merata menimbulkan tantangan besar bagi realisasi target tersebut.

Bank Indonesia diharapkan dapat mengambil langkah cepat melalui kebijakan moneter yang terukur, seperti menjaga suku bunga agar tidak menekan konsumsi domestik. Namun demikian, tanpa penguatan sektor riil dan peningkatan daya beli masyarakat, stabilitas ekonomi hanya akan menjadi hitungan statistik tanpa dampak nyata di lapangan.

Fenomena ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan, terutama bagi mahasiswa. Penting untuk lebih cermat mengatur keuangan, memanfaatkan peluang seperti program beasiswa, mencari pekerjaan paruh waktu, atau berkolaborasi dalam komunitas yang mendukung kemandirian finansial.

Bagi pemerintah, memastikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter tidak mengganggu akses pendidikan menjadi hal krusial. Pendidikan tetap menjadi kunci pemulihan ekonomi dalam jangka panjang.
Krisis ini harus dipandang sebagai pengingat bahwa selain angka makroekonomi, daya tahan bangsa terletak pada kemampuan masyarakat, terutama generasi muda, dalam beradaptasi.

Redaktur: Merry Agnus Dei Gultom


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Noda Hitam Pelayanan Administrasi Fakultas Pertanian USU

redaksi

Survei Evaluasi Dosen, Mengisi Sesuai Kenyataan atau Cari Aman Saja?

redaksi

Bullying : Merusak Mental dan Karakter Penerus Anak Bangsa

redaksi