SUARA USU
Buku

Memahami Kisah Mereka yang Telah Tiada dalam Buku “Things Left Behind”

Things Left Behind
Sumber: fimela.com

Oleh: Nikolas Supriyanto

Di Korea Selatan, ada jenis pekerjaan yang mungkin kurang akrab bagi kebanyakan orang. Mereka biasa dikenal sebagai pembersih trauma, yaitu pekerjaan membersihkan Tempat Kejadian Perkara (TKP), tindak kriminal, ataupun rumah lansia yang meninggal seorang diri. Kisah petugas pembersih trauma ini kemudian diangkat menjadi buku serta ditulis langsung oleh pendiri perusahaan Biohazard, sebuah perusahaan penyedia jasa pekerja pembersih trauma di Korea Selatan. Kisah Kim Sae Byoul dijadikan sebuah buku dengan judul Things Left Behind. Buku ini ditulis oleh Kim bersama rekannya, Jeon Ae Won, dan telah diadaptasi menjadi drama Korea pada tahun 2021 dengan judul Move to Heaven dibawah produksi Netflix.

Kisah dalam buku ini menceritakan keseharian Kim Sae Byoul sebagai pembersih trauma di tempat orang-orang yang telah tiada. Ia menyediakan jasa kebersihan untuk membersihkan rumah bekas mayat, rumah pengidap hording disorder, dan tempat kejadian tindak kriminal seperti penghilangan nyawa dan jenis kejahatan lain. Pada umumnya, orang-orang akan berusaha menghindari tempat-tempat semacam ini, namun Kim dan timnya memilih untuk melawan arus dan memberanikan diri untuk membersihkan tempat tersebut agar kembali layak huni.

Membersihkan tempat mereka yang telah tiada, memberikan pengalaman tersendiri bagi Kim dan timnya. Ia belajar bagaimana mereka yang telah tiada selalu meninggalkan kisahnya untuk dikenang dan menjadi pelajaran berharga. Ia berusaha memahami bahwa kematian bukan hal yang harus dihindari dan ditakuti, karena pada dasarnya kematian sudah menjadi hakikat mutlak bagi makhluk hidup.

Orang-orang yang telah tiada selalu berusaha meninggalkan cinta dan tanda bagi keluarga atau teman terdekat yang masih hidup. Kisah mereka selalu tertinggal di tempat mereka menghembuskan napas terakhir, menanti uluran tangan orang lain untuk menemukannya. Kim dan tim menjadi segelintir orang yang bersedia mendatangi tempat tersebut untuk membantu serta membagikan kisah mereka yang telah tiada.

Perkembangan zaman dewasa ini kerap membawa jarak bagi orang-orang terdekat. Semakin canggih alat komunikasi, justru semakin banyak orang merasa kesepian dan pada akhirnya “menghilang” karena merasa tidak lagi mendapat tempat di hati anaknya, tetangganya, maupun kerabatnya. Kesepian dalam hidup dapat mendorong orang semakin dekat dengan tangga kematian. Mereka pada akhirnya meninggal tanpa diketahui berhari, minggu, bahkan berbulan-bulan. Walaupun hidup dalam kesepian, setidaknya mereka memiliki hak untuk “diantarkan” menuju surga. Hal ini yang memotivasi Kim dan timnya untuk terus bekerja dan membersihkan rumah orang-orang yang telah tiada.

Ia belajar bagaimana menjadi lebih bijaksana menghadapi hidup setelah mendengar kisah orang-orang yang meninggal dunia. Ia belajar banyak hal, bagaimana memperlakukan hewan-hewan seperti kucing dan anjing penuh cinta kasih, bagaimana mencintai orang terdekat dan seberapa bermaknanya sebuah kabar bagi mereka. Komunikasi dengan orang tercinta bisa menjadi motivasi seseorang untuk melanjutkan hidupnya barangkali sehari lagi.

Mereka yang telah tiada, baik meninggal karena tindak kriminal, bunuh diri, meninggal karena sakit, maupun karena kesepian selalu mengajarkan pengalaman bagi manusia yang masih hidup untuk senantiasa mengingat dan menyayangi sesama.

Kim menjadi penyalur kisah mereka, walaupun harus bekerja di tempat yang sangat sulit karena bau mayat, tempat yang kotor (dalam beberapa kasus diceritakan sangat ekstrim), dan menghadapi gejolak emosi, Kim selalu bekerja tanpa kenal lelah. Belum lagi mereka harus menghadapi tekanan orang-orang di Korea Selatan yang tidak akrab dengan kematian. Pembersih trauma kerap dianggap membawa malapetaka sehingga sering mengalami tindakan diskriminatif. Oleh karena itu, mereka yang bersedia bekerja dengan Kim merupakan orang-orang yang siap dengan segala resiko tersebut.

Buku ini bukan sekedar kumpulan pengalaman Kim, buku ini adalah kisah mereka yang telah tiada dan Kim menjadi penolong bagi mereka untuk membagikan cerita yang tidak sempat mereka bagikan. Buku ini memberikan pandangan baru dalam memahami kehidupan dan kematian serta mengajarkan bagaimana memperlakukan orang lain apapun pekerjaannya dengan penuh hormat.

Menggunakan bahasa novel, sangat membantu pembaca untuk ikut merasakan emosi yang harus dihadapi oleh Kim dan rekannya dalam bekerja setiap hari. Tentunya tidak mudah dalam menceritakan ulang kisah diri sendiri, namun Kim sukses mengemas ceritanya untuk disebarluaskan dan dipelajari orang banyak. Dengan tebal 195 halaman, buku ini mampu menjadi bacaan yang membawa pembaca ikut memahami perasaan penulis.

Buku yang ditulis oleh Kim dan Jeon Ae Won ini telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama di Tahun 2021. Buku ini dapat menjadi rekomendasi bacaan saat senggang.

Redaktur: Vimelia Hutapea


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Menggali Potensi Kebiasaan dalam Buku ‘Is it Bad or Good Habits’

redaksi

Tingkatkan Keterampilan Komunikasi melalui Buku Bicara Itu Ada Seninya

redaksi

Afirmasi, Kisah Mencari Esensi Pernikahan

redaksi