SUARA USU
Opini

POLRI DI PERSIMPANGAN KEPERCAYAAN DAN KECURIGAAN

Ilustrasi: Emmi Simatupang

 

Oleh: Siti Aisyah

Suara USU, Medan. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terus mengalami penurunan yang mengkhawatirkan. Survei Indikator Politik Indonesia mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 80,2% pada Desember 2021, namun turun drastis menjadi 53% pada November 2022 setelah kasus Ferdy Sambo mencuat. Meski sempat mengalami kenaikan menjadi 76,4% pada pertengahan 2023, data dari Ipsos Global Trustworthiness Index 2024 menunjukkan bahwa 41% responden di Indonesia menyatakan ketidakpercayaan terhadap polisi. Fakta ini membuktikan bahwa citra Polri di mata masyarakat terus mengalami degradasi akibat berbagai kasus penyalahgunaan wewenang, kekerasan aparat, hingga dugaan keterlibatan dalam tindak pidana.

Kasus terbaru yang kembali memperburuk citra Polri adalah kematian Pandu, seorang siswa SMA yang diduga tewas akibat tendangan oknum polisi saat pengamanan aksi unjuk rasa. Insiden ini bukan hanya mencerminkan buruknya pengendalian diri aparat dalam menangani demonstrasi, tetapi juga menguatkan anggapan bahwa kepolisian cenderung menggunakan kekerasan tanpa pertimbangan etika dan hukum. Ditambah lagi dengan fenomena “No Viral No Justice”, di mana banyak kasus baru mendapatkan perhatian serius setelah viral di media sosial, semakin menegaskan bahwa masyarakat belum sepenuhnya percaya pada sistem hukum yang ada.

Fakta lainnya yang turut memperkuat ketidakpercayaan publik adalah banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 677 kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian sepanjang 2023. 115 diantaranya menjadi kasus yang berujung pada kematian korban. Selain itu, laporan Indonesia Police Watch (IPW) juga mengungkapkan bahwa sebanyak 1.081 anggota kepolisian terlibat dalam berbagai pelanggaran etika dan tindak pidana pada tahun yang sama. Data dari Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, kasus pelanggaran kode etik kepolisian meningkat hingga 40%.

Tidak hanya itu, berbagai kasus lain yang mencoreng nama Polri terus bermunculan. Pada Oktober 2022, tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang akibat penggunaan gas air mata oleh kepolisian menjadi salah satu contoh nyata bagaimana lemahnya pengendalian massa berujung pada bencana kemanusiaan. Selain itu, keterlibatan oknum kepolisian dalam jaringan narkoba, seperti kasus mantan Kapolda Sumatera Barat yang diduga membekingi peredaran narkotika, semakin memperburuk citra kepolisian di mata publik. Bukannya menjadi pelindung masyarakat, Polri justru semakin sering dipandang sebagai institusi yang lebih melindungi kepentingan internalnya sendiri. Tidak heran jika masyarakat semakin skeptis dan mempertanyakan kredibilitas aparat penegak hukum.

Dalam upaya memperbaiki citra dan mengembalikan kepercayaan publik, Polri sebenarnya telah melakukan beberapa langkah, seperti meningkatkan transparansi dalam penanganan kasus yang melibatkan anggotanya serta menerapkan sistem rekrutmen berbasis meritokrasi. Namun, langkah-langkah ini tampaknya belum cukup efektif, karena masih banyak kasus yang menunjukkan lemahnya pengawasan internal dan rendahnya komitmen terhadap reformasi institusi. Bahkan, sistem pengawasan eksternal melalui lembaga independen juga tidak berjalan optimal karena masih terhambat oleh birokrasi dan kepentingan tertentu.

Lebih jauh, perlakuan Polri dalam menangani kasus yang melibatkan masyarakat biasa dan pejabat negara pun kerap menjadi sorotan. Kasus-kasus kriminal yang melibatkan pejabat atau orang berpengaruh sering kali mendapat perlakuan yang lebih ringan dibandingkan kasus serupa yang dilakukan oleh rakyat biasa. Fenomena tebang pilih dalam penegakan hukum ini semakin memperparah ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri sebagai institusi yang seharusnya menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.

Kepercayaan masyarakat terhadap Polri tidak bisa dipulihkan hanya dengan kampanye citra di media sosial atau pernyataan-pernyataan normatif dari pejabat kepolisian. Reformasi menyeluruh harus dilakukan, mulai dari peningkatan profesionalisme aparat, penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih, hingga sanksi tegas bagi anggota yang menyalahgunakan kewenangannya. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah memperkuat mekanisme pengawasan eksternal yang benar-benar independen serta memberikan sanksi yang lebih berat kepada anggota kepolisian yang terbukti melakukan pelanggaran.

Saat ini, masyarakat menuntut lebih dari sekadar janji reformasi. Mereka ingin melihat perubahan nyata dalam cara Polri bertindak dan berinteraksi dengan publik. Jika kepolisian terus menunjukkan arogansi kekuasaan tanpa perubahan yang berarti, maka kepercayaan yang sudah terkikis akan semakin sulit untuk dipulihkan. Polri harus kembali pada prinsip dasarnya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, bukan sekadar institusi yang hanya bertindak jika kasusnya sudah viral atau mendapat tekanan publik. Kepercayaan yang hilang tidak bisa dibangun kembali dalam semalam, tetapi tanpa langkah konkret, maka Polri hanya akan semakin jauh dari harapan masyarakat yang seharusnya dilayani.

 

Redaktur: Zahra Salsabilla


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Keraguan Masyarakat terhadap Vaksinasi Cacar Monyet, Pemerintah Perlu Ambil Tindakan

redaksi

Produktif Harus Diiringi Tanggung Jawab!

redaksi

Dampak Pelaksanaan UTBK Bagi Kesejahteraan Mental Siswa

redaksi