
Oleh: Cynthia Ma
Suara USU, Medan. Di tengah euforia perkembangan startup di Indonesia, kasus eFishery menjadi tamparan keras yang seharusnya menyadarkan kita bahwa tidak semua pertumbuhan yang terlihat gemilang benar-benar mencerminkan kekuatan fundamental bisnis. Diduga memanipulasi laporan keuangan dan mengelabui investor, startup yang sempat menjadi kebanggaan di sektor akuakultur, kini justru mencerminkan sisi gelap dunia startup yang terlalu berorientasi pada valuasi.
Didirikan pada 2013 oleh Gibran Huzaifah Amsi El Farizy, eFishery menawarkan solusi akuakultur teknologi pakan otomatis, eFeeder, yang membantu petambak menekan biaya dan menekan produktivitas. Riset FEB UI mencatat, eFishery meningkatkan keuntungan petani akuakultur hingga 34,1% dan berkontribusi Rp3,4 triliun (1,55%) terhadap PDB sektor ini pada 2022. Dengan pendanaan Seri D sebesar $200 juta, perusahaan ini meraih status unicorn pada 2023 dengan valuasi $1,4 miliar.
Namun, siapa sangka, di balik status pencapaiannya, eFishery justru diduga mengelabui investor elit seperti Northstar, Temasek, dan SoftBank. Perusahaan yang dulu digadang-gadang sebagai inovasi terobosan di sektor akuakultur kini menghadapi sorotan tajam atas dugaan manipulasi data dan ketidaksesuaian laporan keuangan. Dikutip dari Kompas, indikasi kecurangan di tubuh eFishery sebenarnya sudah tercium sejak 2024. Puncaknya terjadi ketika Gibran, pendiri sekaligus CEO serta Chrisna Aditya, co-founder sekaligus Chief Product Officer, dicopot dari jabatan dalam dugaan penyelewengan dana.
Berdasarkan dokumen yang diterima CNBC Indonesia, terlihat ketimpangan antara laporan eksternal di angka Rp 1,6 triliun pada 2022, Rp 5,8 triliun, dan Rp 10,8 triliun pada 2023, sedangkan laporan internal menunjukkan angka berbeda yakni Rp 1 triliun pada 2021, Rp 4,3 triliun pada 2022, dan Rp 6 triliun pada 2023.
Laporan eksternal yang lebih tinggi memberikan kesan pertumbuhan pesat, sementara angka internal menunjukkan kondisi yang tidak sesuai ekspektasi. eFishery mencatat kerugian terbesar, mencapai Rp784 miliar pada 2022. Kejadian ini menjadi pengingat bahwa tidak semua startup yang tumbuh pesat benar-benar memiliki fundamental bisnis yang kuat, bermodal valuasi tinggi tanpa transparansi dan akuntabilitas
Selain dugaan manipulasi laporan keuangan, hasil penyelidikan mengungkap bahwa Gibran sengaja menggelembungkan biaya modal untuk pembelian pakan. Modus ini diduga telah berlangsung sejak 2018. Pada 2022, diketahui bahwa lima perusahaan di bawah kendalinya beroperasi atas nama orang lain. Bersama sejumlah rekannya, ia diduga memalsukan berbagai dokumen, termasuk invoice, kontrak, dan pembukuan fiktif.
Kini, eFishery sedang dalam proses penyelidikan dan menghentikan operasionalnya sejak Desember 2024. Dampak terbesar dirasakan oleh sekitar 2.000 karyawannya, dengan hampir 90% di antaranya mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dampak krisis eFishery tidak hanya dirasakan oleh para karyawan, tetapi juga pembudidaya skala menengah dan besar yang selama ini bergantung pada teknologi serta fasilitas kredit Kasih Bayar Nanti (KABAYAN). Tanpa suplai pakan dan dukungan keuangan dari eFishery, mereka menghadapi tantangan besar dalam proses produksi.
Jika ribuan petambak berhenti beroperasi, kondisi tersebut dapat mengancam pemenuhan target pangan laut nasional yang telah dicanangkan pemerintah. Sebagai solusi, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendorong para petambak dan pembudidaya membentuk koperasi guna menjaga produktivitas di tengah ketidakpastian ini.
Krisis ini juga mengguncang kepercayaan investor terhadap ekosistem startup di Indonesia. Mereka khawatir bahwa kasus serupa dapat terjadi di perusahaan rintisan lain. Dikutip dari Bisnis.com, pengamat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebutkan bahwa insiden ini berpotensi membuat modal ventura lebih berhati-hati dalam memberikan pendanaan.
Lebih parahnya, kasus ini dikhawatirkan akan meredam semangat para inovator muda dan startup pendatang baru untuk berkontribusi di sektor perikanan. Kejadian di eFishery bisa menimbulkan stigma bahwa industri ini berisiko tinggi, terutama dalam hal pendanaan dan transparansi bisnis.
Sekarang pertanyaannya, jika startup sebesar eFishery bisa terseret kasus seperti ini, bagaimana dengan yang lain? Apakah ini puncak gunung es dari fenomena serupa yang belum terungkap? Atau justru ini adalah peringatan keras bahwa pola bisnis startup berbasis pertumbuhan agresif tanpa akuntabilitas harus segera ditinggalkan?
Kegagalan eFishery menunjukkan bahwa pertumbuhan agresif yang didorong oleh pendanaan investor tidak selalu berbanding lurus dengan keberlanjutan bisnis. Seperti banyak startup lain, eFishery beroperasi dalam ekosistem yang menjadikan growth at all costs sebagai mantra. Mereka mengumpulkan dana besar, membangun citra sebagai pemimpin industri, tetapi pada akhirnya justru terjebak dalam lingkaran manipulasi untuk mempertahankan narasi pertumbuhan.
Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi startup lain bahwa strategi “bakar uang” tanpa model bisnis yang kuat berpotensi membawa kehancuran. Sebuah perusahaan, seberapa pun inovatifnya, tetap harus mengutamakan profitabilitas dan akuntabilitas. Transparansi bukan sekadar formalitas, tetapi fondasi kepercayaan jangka panjang.
Bukan hanya startup yang harus mengambil pelajaran, tetapi juga investor dan regulator yang terlalu longgar dalam melakukan pengawasan. Banyak investor terbuai oleh laporan pertumbuhan yang menggiurkan tanpa menggali lebih dalam soal tata kelola perusahaan. Due diligence yang lemah membuka celah bagi startup untuk memoles laporan keuangan demi menarik pendanaan lebih besar.
Regulator juga perlu turun tangan untuk memperketat pengawasan terhadap startup yang menerima investasi dalam jumlah besar. Jangan sampai regulasi baru hanya muncul setelah kasus besar mencuat. Standarisasi transparansi keuangan dan tata kelola yang lebih ketat harus diterapkan, terutama bagi startup yang telah mencapai tahap pendanaan lanjutan.
Kasus eFishery bukan sekadar skandal perusahaan, tetapi ujian bagi ekosistem startup Indonesia. Jika pelaku industri tidak segera berbenah, kepercayaan terhadap startup lokal akan semakin menurun. Belajar dari eFishery, startup masa depan harus lebih fokus pada model bisnis yang berkelanjutan, bukan sekadar mengejar status unicorn.
Startup bukan hanya tentang inovasi, tetapi juga tanggung jawab. Keberlanjutan bisnis tidak hanya bergantung pada teknologi atau pendanaan, tetapi juga pada integritas dan tata kelola yang sehat. Jika pelajaran ini tidak segera diambil, maka eFishery bukanlah kasus terakhir, melainkan permulaan dari kejatuhan startup yang terlalu mengutamakan valuasi daripada kredibilitas.
Redaktur: Zahra Zaina Rusty
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.