
Oleh: Reinhard Halomoan
“Fokus pembahasannya sudah memenuhi semua asas legalitas.” Demikian pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani dalam konferensi pers usai sidang paripurna pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Kamis (20/3).
Suara USU. Medan. Tok! Pada Kamis (20/3/2024), publik kembali dikejutkan oleh hasil sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Keputusan ini langsung memantik gelombang kritik dari berbagai kalangan, mulai dari pengamat politik, akademisi, aktivis hak asasi manusia, hingga masyarakat sipil.
Mereka menilai bahwa revisi ini berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, sebuah kebijakan Orde Baru yang dulu memberikan peran ganda bagi militer di ranah sipil dan politik. Dimana reformasi 1998 telah mengupayakan supremasi sipil sebagai prinsip utama dalam tata kelola negara demokratis, dengan memisahkan militer dari politik dan jabatan sipil.
Terdapat empat pasal yang mengalami perubahan dalam RUU TNI terbaru, yakni:
- Pasal 3
Dalam pasal ini, pemerintah menyetujui kedudukan TNI dalam strategi pertahanan dan dukungan administrasi yang berkaitan dengan perencanaan strategis berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan
- Pasal 7
Tugas pokok TNI yang semula berjumlah 14 kini bertambah menjadi 16. Tugas tambahan tersebut meliputi upaya menanggulangi ancaman siber serta membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
- Pasal 47
Pada pasal ini, TNI aktif yang sebelumnya tidak diperbolehkan mengisi posisi struktural pada kementerian dan lembaga kini mendapatkan izin untuk melakukannya. Lebih dari itu, TNI kini dapat menempati 14 kementerian dan lembaga, yang sebelumnya hanya 7.
- Pasal 53
Pasal ini mengatur ulang batas usia pensiun prajurit TNI, yakni:
a. bintara dan tamtama paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
b. perwira sampai dengan pangkat kolonel paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun;
c. perwira tinggi bintang 1 (satu) paling tinggi 60 (enam puluh) tahun;
d. perwira tinggi bintang 2 (dua) paling tinggi 61 (enam puluh satu) tahun; dan
e. perwira tinggi bintang 3 (tiga) paling tinggi 62 (enam puluh dua) tahun.
Sejak awal, public memang sudah menunjukkan sikap skeptis terhadap revisi RUU TNI. Kecurigaan ini berawal dari ketidakterbukaan pemerintah dalam memasukkan revisi UU TNI ke dalam agenda legislasi. Dimulai pada 19 November 2024, pemerintah telah menetapkan 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang merupakan daftar prioritas legislasi untuk dibahas dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Namun, dalam daftar tersebut, RUU TNI sama sekali tidak tercantum.
Eksistensi RUU ini baru muncul setelah Presiden mengusulkannya melalui Surat Presiden (Surpres) No. R12/Pres/02/2025, yang diterbitkan pada 13 Februari 2025. Kecepatan proses legislasi yang tidak lazim ini semakin menimbulkan pertanyaan di kalangan publik, terutama karena pada hari yang sama, DPR RI langsung mengesahkan RUU TNI dalam rapat paripurna tanpa adanya diskusi terbuka yang memadai.
Setelah mendapat persetujuan dalam rapat paripurna, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai aktif melakukan pembahasan terhadap RUU TNI. Namun, proses pembahasan ini justru mengundang sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama karena minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunannya.
Salah satu aspek yang paling dipertanyakan adalah digelarnya rapat secara tertutup di Hotel Fairmont, sebuah hotel bintang lima yang berjarak sekitar dua kilometer dari Gedung DPR RI. Keputusan untuk mengadakan rapat di lokasi mewah ini menuai kritik dari berbagai pihak, mengingat pemerintah saat ini tengah gencar melakukan efisiensi anggaran di berbagai sektor. Langkah ini dinilai tidak mencerminkan komitmen terhadap penghematan, terutama karena DPR RI memiliki fasilitas lengkap di kompleks parlemen yang dapat digunakan untuk pembahasan rancangan undang-undang.
Lebih dari sekadar masalah anggaran, keputusan untuk mengadakan rapat secara tertutup juga memunculkan kecurigaan terhadap transparansi pembahasan RUU ini. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara tegas menyebutkan bahwa prinsip keterbukaan merupakan salah satu pilar utama dalam penyusunan undang-undang. Keterbukaan ini mencakup partisipasi publik, akses informasi, serta pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam pembahasan undang-undang. Namun, dalam kasus pembahasan RUU TNI, prinsip ini tampaknya diabaikan.
Bukti paling nyata dari tertutupnya proses legislasi ini adalah tidak diizinkannya media untuk meliput jalannya rapat, berbeda dengan rapat-rapat DPR RI pada umumnya yang umumnya terbuka bagi pers. Keputusan ini semakin menimbulkan dugaan bahwa ada agenda tertentu yang ingin disembunyikan dari publik.
Selain itu, insiden yang terjadi dalam rapat di Hotel Fairmont semakin memperkuat dugaan bahwa proses revisi UU TNI dijalankan dengan cara yang tidak demokratis. Dalam sebuah rekaman video singkat yang beredar di media sosial, terlihat beberapa aktivis yang berhasil menyusup ke ruang rapat dan melakukan protes terhadap proses yang dinilai tidak transparan. Akibatnya, rapat sempat tertunda sementara waktu sebelum akhirnya aktivis tersebut dikeluarkan secara represif oleh aparat keamanan.
Menurut Detik News, Direktur Imparsial Hussein Ahmad menyoroti dampak serius revisi UU TNI terhadap demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa revisi ini membuka peluang bagi TNI aktif untuk menempati posisi struktural dalam lembaga sipil, yang pada akhirnya dapat menimbulkan tekanan tersendiri bagi masyarakat.
“Hadirnya TNI dalam posisi struktural sipil bisa memberikan tekanan tersendiri bagi masyarakat. Lihat saja bagaimana TNI terlibat dalam kasus Rempang dan Merauke yang berujung kekerasan terhadap warga sipil,” ujarnya kepada Detik News.
Sementara itu, dalam wawancaranya dengan BBC, Hussein Ahmad juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Ia menyoroti beberapa kasus yang menunjukkan dampak negatif dari keterlibatan TNI dalam urusan sipil, terutama dalam konflik agraria yang melibatkan masyarakat.
“Misalnya, keterlibatan TNI dan PSN di Rempang Eco City yang berujung pada kekerasan terhadap warga sipil. Kemudian di Merauke, di mana tanah rakyat dirampas. Yang lebih berbahaya, perlahan-lahan ini menggerus demokrasi,” ujarnya dalam wawancara dengan BBC.
Dalam laporan yang sama, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyebut bahwa pasal 47 dalam revisi ini adalah bentuk “dwifungsi dalam versi baru.” Ia menambahkan bahwa revisi ini memungkinkan TNI untuk semakin terlibat dalam birokrasi sipil, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Pernyataan ini sejalan dengan kekhawatiran para aktivis dan akademisi bahwa kehadiran TNI dalam jabatan sipil dapat membahayakan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi. TNI, sebagai institusi yang memiliki struktur komando hierarkis dan tugas utama di bidang pertahanan, dinilai tidak seharusnya diberikan peran dalam pemerintahan sipil, yang seharusnya dijalankan berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Selain itu, pengesahan revisi UU TNI diperkirakan akan berdampak negatif pada moral dan profesionalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan dibukanya peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menempati jabatan strategis di berbagai kementerian dan lembaga, banyak PNS yang telah membangun kariernya selama bertahun-tahun terancam terpinggirkan.
Pemerintah sebelumnya telah menerapkan sistem meritokrasi dalam birokrasi, yang menekankan pada kompetensi dan pengalaman sebagai dasar utama promosi jabatan. Namun, dengan revisi UU TNI yang mengizinkan perwira aktif untuk menduduki posisi sipil, sistem ini berisiko tergerus oleh mekanisme penempatan berbasis institusi militer, bukan pada rekam jejak dan keahlian sipil yang mumpuni.
Selain merugikan PNS secara individu, dampak lebih luasnya adalah terjadinya ketimpangan dalam sistem birokrasi pemerintahan. Kehadiran TNI dalam struktur sipil bisa mengubah dinamika pengambilan kebijakan, yang seharusnya mengutamakan prinsip sipilisme dan demokrasi menjadi lebih condong pada pendekatan komando dan keamanan.
Pada akhirnya, keputusan ini memicu gelombang protes besar-besaran di berbagai daerah. Tidak sampai setengah hari setelah palu sidang diketuk, ribuan massa bergerak menuju Gedung DPR RI di Senayan untuk melakukan aksi unjuk rasa.
Berbagai elemen masyarakat bersatu dalam gerakan protes, mulai dari Aliansi Perempuan Indonesia, organisasi buruh, aktivis hak asasi manusia, hingga kelompok mahasiswa. Massa yang semakin membeludak berusaha menerobos masuk ke kompleks parlemen, tetapi akses ke gedung tersebut telah dikunci dengan rantai berlapis dan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Bentrokan kecil pun tak terhindarkan, ketika beberapa pengunjuk rasa mencoba melewati barikade polisi.
Aksi demonstrasi masih terus berlangsung di depan Gedung DPR RI. Para demonstran menyuarakan dua tuntutan utama: pembatalan pengesahan RUU TNI serta transparansi penuh dalam publikasi draf revisi undang-undang tersebut. Mereka menilai bahwa selama ini pemerintah tidak terbuka dalam proses penyusunan dan pembahasannya, sehingga publik harus mengetahui secara pasti isi draf yang disahkan.
Meskipun pemerintah hanya menyampaikan poin-poin utama dalam konferensi pers resmi, sejumlah kelompok masyarakat telah berhasil mendapatkan salinan lengkap draf RUU TNI. Dari dokumen yang tersebar, tampak bahwa revisi undang-undang ini memberikan keleluasaan bagi TNI untuk terlibat dalam jabatan sipil, yang dianggap sebagai kemunduran demokrasi dan ancaman bagi supremasi sipil.
Kini, perjuangan masyarakat sipil untuk “menggulung kembali karpet merah” yang diberikan kepada prajurit TNI aktif telah dimulai. Tak hanya kelompok demonstran, mahasiswa, akademisi, hingga jurnalis pun turut berjuang dengan cara mereka masing-masing, baik melalui aksi protes di jalanan, kajian akademik, maupun pemberitaan di berbagai media.
Namun, di tengah upaya ini, ancaman dan intimidasi mulai bermunculan. Pada hari yang sama ketika RUU TNI disahkan, kantor media Tempo menerima ancaman berupa kiriman kepala babi dengan telinga yang dipotong. Pengirimnya tidak diketahui, tetapi insiden ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya upaya teror terhadap kebebasan pers.
Menurut Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, tindakan tersebut merupakan bentuk ancaman terhadap karya jurnalistik yang dilakukan Tempo, terutama dalam memberitakan isu-isu sensitif yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan militer.
Kasus ini semakin mempertegas bahwa perjuangan menjaga demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia tidak akan mudah. Intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan bisa semakin kuat, dan ancaman terhadap kebebasan sipil bisa saja meningkat.
Dan apabila revisi UU TNI terus diberlakukan tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin ke depan akan terjadi pelemahan supremasi sipil dan kembalinya praktik dwifungsi militer seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Hal ini dapat menghambat proses demokratisasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998 dan membatasi peran masyarakat sipil dalam pengelolaan negara.
Redaktur: Jesika Yusnita Laoly
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.