Oleh: Alya Nayla Sahirah S.
Suara USU, Medan. Pendidikan tinggi di Indonesia sering digadang-gadang sebagai benteng modernitas dan kebebasan berpikir. Namun, pada realitasnya, banyak kampus masih terjebak dalam bayang-bayang budaya feodal. Salah satu manifestasi paling nyata dari feodalisme akademik adalah praktik senioritas yang berlebihan. Fenomena ini bukan sekadar dinamika yang wajar antarangkatan, melainkan telah berkembang menjadi hierarki yang mencengkram mahasiswa baru, menekan kebebasan akademik, dan menciptakan lingkungan yang jauh dari kata ideal bagi pengembangan intelektual.
Sebagian kalangan berdalih bahwa senioritas di kampus berfungsi sebagai mekanisme bimbingan, tempat mahasiswa baru belajar dari pengalaman senior mereka. Namun, praktik senioritas di lapangan menunjukkan bahwa budaya ini justru sering dimanfaatkan sebagai tameng untuk mendominasi, menjelma alat represi, mengekang ruang berekspresi, hingga membangun kuasa distorsi. Tekanan senioritas sering kali dibungkus dengan dalih pembentukan mental atau internalisasi nilai solidaritas, padahal substansinya lebih mengarah pada pengendalian dan penindasan.
Amalia Meutia, S.Psi, M.Psi, Psikolog, salah satu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, menyoroti bahwa dalam budaya senioritas yang berlebihan, mahasiswa baru sering kali didorong untuk patuh pada senior tanpa kritik. “Biasanya ada aturan tak tertulis seperti Pasal 1: Senior selalu benar. Pasal 2: Jika senior salah, kembali ke asal 1. Ini kan bentuk kepatuhan terhadap otoritas yang seringkali merugikan junior,” ungkapnya.
Terlebih lagi saat masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek), perpeloncoan kerap dijustifikasi sebagai bagian dari tradisi kampus. Padahal, menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, setiap tahunnya terdapat sejumlah pengaduan mengenai tindakan penyalahgunaan wewenang oleh senior terhadap mahasiswa baru, baik dalam bentuk pelecehan verbal, perintah yang tidak masuk akal, maupun hukuman-hukuman fisik. Sebuah penelitian dalam Jurnal Sains Sosial dan Humaniora (JSSH) yang dipublikasikan oleh Universitas Muhammadiyah Purwokerto, menemukan bahwa dalam rentang tahun 2000 sampai dengan tahun 2022, terdapat 30 kasus kekerasan ospek yang terdokumentasi dalam portal berita online, dengan 73,3% di antaranya merupakan kekerasan nonverbal, seperti pemukulan, pengeroyokan, dan penyiksaan fisik. Kekerasan ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti penyalahgunaan wewenang oleh panitia ospek sebesar 56,67%, balas dendam sebesar 6,67%, serta kejailan panitia terhadap mahasiswa baru sebesar 10%.
Alih-alih membangun rasa kebersamaan, praktik ini justru menciptakan relasi kekuasaan yang timpang, di mana mahasiswa baru dipaksa tunduk tanpa bisa mempertanyakan alasannya. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menunjukkan bahwa sejak tahun 2011 hingga tahun 2019, terdapat 2.473 laporan kekerasan dalam lingkungan pendidikan, dengan ospek menjadi salah satu pemicunya. Jelas bahwa hal ini adalah bentuk perbudakan intelektual yang terang-terangan mengkhianati esensi pendidikan tinggi.
Budaya senioritas berlebihan bukan hanya menciptakan ketimpangan antarmahasiswa, tetapi juga menghambat demokratisasi akademik. Atmosfer pendidikan yang seharusnya mendorong pemikiran kritis justru dipenuhi oleh ketakutan dan kepatuhan, di mana mahasiswa baru sering kali tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat atau mengkritik sistem yang ada karena takut dikucilkan, menerima sanksi sosial, atau bahkan dilabeli tidak sopan kepada senior, sehingga terpaksa tunduk kepada senior mereka. Selain itu, hierarki yang kaku dalam organisasi kemahasiswaan membuat keputusan sering kali hanya didominasi oleh para senior, sementara suara mahasiswa baru diremehkan atau hanya diabaikan. Bagaimana mungkin kampus dapat menjadi ruang bagi berkembangnya pemikiran-pemikiran kritis dalam situasi seperti ini? Bagaimana mungkin mereka bisa berkembang menjadi intelektual yang berani membela kebenaran jika sedari awal mereka sudah dibungkam?
Dari sudut pandang psikologi sosial, Amalia menjelaskan bahwa fenomena ini berkaitan dengan cycle of abuse, di mana individu cenderung mengulang pola perilaku yang pernah mereka alami dalam konteks kekuasaan. “Jadi, senior yang dulu pernah mendapat tekanan dari senior sebelumnya merasa berhak melakukan hal yang sama kepada junior mereka. Siklus ini akan terus berulang jika tidak dihentikan,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa senioritas yang tidak terkendali sebenarnya berdampak negatif terhadap senior itu sendiri. “Senior yang terus-menerus menegakkan otoritas secara berlebihan akan mengalami tekanan untuk mempertahankan citra yang kuat dan berkuasa, sehingga menghambat perkembangan empati dan keterampilan sosial mereka yang sehat. Kalau kita lihat dari moral juga, senior sebenarnya menyadari kalau tindakannya melukai junior itu salah menurut hati nurani. Pasti di dalam dirinya timbul disonansi kognitif. Di dunia profesional, ini juga menjadi hambatan besar karena hierarki di luar kampus kan lebih berbasis pada kompetensi dan kolaborasi, bukan sekadar senioritas,” tambahnya.
Ironisnya, banyak institusi perguruan tinggi yang memilih untuk berpaling dan menutup mata terhadap praktik senioritas yang merugikan ini. Sebagian kampus telah menerapkan regulasi mengenai pencegahan tindakan kekerasan dan penyalahgunaan wewenang dalam kehidupan mahasiswa, tetapi efektivitasnya patut dipertanyakan. Salah satu kebijakan yang paling sering diusung adalah pelarangan ospek yang bersifat perpeloncoan, tetapi implementasinya masih jauh dari kata maksimal. Larangan ini tampaknya hanya sebatas formalitas tanpa adanya pengawasan yang ketat.
Dalam beberapa kasus, pihak akademik justru terkesan gamang dalam menindak kasus senioritas yang mencengkram mahasiswa baru. Alih-alih memberikan perlindungan, beberapa institusi lebih memilih untuk menjaga hubungan antarangkatan dengan membiarkan praktik ini terus berlangsung. Apa hasilnya? Kultur senioritas masih ada, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Menormalisasikan budaya senioritas berlebihan sama saja dengan membiarkan kampus berjalan ke belakang. Mahasiswa seharusnya dididik untuk berpikir kritis, bukan untuk tunduk tanpa alasan. Jika kampus ingin benar-benar menjadi sebuah institusi yang modern, maka langkah pertama yang harus diambil adalah membongkar budaya feodal yang telah mengakar.
Solusi yang ditawarkan tidak boleh hanya berhenti di atas kertas berupa regulasi yang ompong. Harus ada implementasi yang ketat serta keberanian dari pihak akademik untuk melawan praktik senioritas yang merugikan dengan tegas. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menggeser konsep senioritas menjadi mentoring. Seorang senior seharusnya berperan sebagai mentor yang membantu juniornya beradaptasi secara akademik dan sosial, bukan sebagai penguasa yang harus ditaati. Mahasiswa senior pun perlu mendapat edukasi mengenai kepemimpinan yang benar. Senioritas yang benar berarti memimpin, bukan mengintimidasi. Kampus seharusnya membentuk generasi intelektual yang bisa berkolaborasi.
Dosen dan tenaga kependidikan juga perlu terlibat langsung dalam pengawasan masa orientasi mahasiswa baru agar tidak ada celah untuk melakukan praktik perpeloncoan. Kampus juga harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan menjaga kerahasiaan bagi mahasiswa yang mengalami tekanan senioritas, seperti sistem whistleblower yang telah diterapkan di beberapa institusi pendidikan.
Modernisasi kampus bukan hanya soal perkembangan teknologi dan infrastrukturnya, tetapi juga soal pola pikir orang-orang di dalamnya. Kampus bukanlah panggung bagi kediktatoran senioritas. Jika feodalisme akademik terus dilestarikan, maka label kampus modern tidak akan lebih dari sekadar ilusi belaka.
Redaktur: Axfeba Saragih