Oleh: Latifa Rahma Husna
Suara USU, Medan. “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” ~Ir Soekarno.
Merujuk pada konsep demokrasi yang menjunjung tinggi rakyat sebagai otoritas utama dalam kekuasaan politik, memberikan pandangan bahwa rakyat harus diperlakukan dengan adil serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mengambil keputusan. Namun, dalam penerapannya hal tersebut menjadi hal yang sangat asing hingga mengakibatkan munculnya fenomena krisis identitas di masyarakat yang kini terus mempertanyakan kredibilitas dari pemerintahan sampai akhirnya kehilangan kepercayaan pada negera sendiri. Permasalahan yang terjadi pada beberapa waktu belakangan menunjukan, bahwa pemerintah kerap kali menjadi pelaku yang mengkhianati kepercayaan rakyat dalam keputusannya. Kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan melucuti kepercayaan masyarakat atas pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang semestinya mewakili aspirasi serta juga menjunjung tinggi kepentingan masyarakat luas. Pasalnya, program-program yang dicanangkan serta ketetapan yang diperlihatkan pada publik, justru kerap kali melukai kesejahteraan dan kebebasan masyarakat sendiri.
Seperti halnya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025, demi menjalankan program utama pemerintah serta memperluas jangkauan penerima manfaat Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bahkan apabila dikaji sampai saat ini, masih terus menuai kritik dari banyak pihak yang mempertanyakan ketepatan sasaran hingga tingkat keberhasilannya.
Ditambah lagi dengan beberapa kasus korupsi yang meluap dilakukan oleh para petinggi. Dilansir dari Tempo, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menyatakan, beberapa perbuatan melawan hukum yang dilakukan Dirut Pertamina-Patra Niaga baru-baru ini telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun. Adapula kasus lain yang dikabarkan oleh liputan 6 dengan tajuk, “Harvey Mois dkk Korupsi Rugikan Negara Rp300 Triliun Tapi Vonis Ringan, Prabowo: Pencuri Ayam Dipukulin”. Kasus kejahatan yang serius serta mengundang pertentangan berbagai pihak, terlebih karena hukuman yang dijatuhkan oleh kejaksaan agung terbilang cukup ringan bagi si terdakwa. Apalagi, kasus-kasus semacam ini menyasar kerugian yang sangat besar bagi negara.
Kebebasan berekspresi yang oleh beberapa orang biasanya dituangkan lewat seni seperti lukisan atau lagu, serta pula keresahan atau protes yang digaungkan secara terang-terangan, kini juga seakan dilarang. Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh Band Sukatani yang diunggah dalam platform musik berisikan seruan kritik terhadap para aparat berujung pada permintaan maaf oleh pihak band. Padahal lagu ini sedang sering dipakai oleh para mahasiswa pada saat menyampaikan aspirasi dalam demo publik, kini membuat masyarakat mencap pihak aparat sangat antikritik. ‘Pembungkaman’ yang diterima band Sukatani ini masih terus menjadi perdebatan di ruang publik. Sebuah lagu dapat membuat pihak yang tercantum dalam liriknya merasa ketar-ketir sendiri dan terburu-buru meringkus sang pemilik lagu, dinilai sangat tidak wajar terlebih di negara demokrasi seperti Indonesia.
Tren di media sosial yang meluas, melalui hashtag seperti “Politik Dinasti”, “Indonesia Gelap”, “Kabur Aja Dulu”, merupakan bentuk kritik masyarakat untuk melek terhadap negeri kita dan ramai digunakan di akun-akun media sosial milik warga negara Indonesia. Dalam hal ini terdapat hashtag tandingan dari orang-orang yang terlibat di pemerintahan yang seakan menganggap seruan-seruan yang telah ada sebagai tren biasa tanpa urgensi. Sebagai contoh saja hashtag “Pergi Migran Pulang Juragan” oleh aktor sekaligus staf khusus Presiden saat ini, Raffi Ahmad, yang menggiring publik kepada arah yang dianggapnya lebih ‘baik.’ Padahal, urgensi dari hashtag seperti “Kabur Aja Dulu” dimaksudkan untuk mengkritik kebijakan serta program pemerintahan yang terkesan terburu-buru dan tidak mempertimbangkan ragam aspek yang sangat berpengaruh pada masyarakat.
Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa rakyat yang dijanjikan perubahan pada setiap Pemilu, justru mengalami kemunduran bahkan krisis? Mengapa politik uang yang merugikan negara dan rakyat berlomba-lomba terjadi? Masih adakah rakyat sebagai pusat perhatian pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan program-program di masa yang akan datang? Ataukah malah hanya kaum elit yang dapat berbicara dan meluaskan jaringannya? Apakah sistem pemeritahan menunjukan pro-nya terhadap rakyat untuk rakyat, atau hanya elit untuk elit? Kebijakan apa yang seharusnya dianut oleh masyarakat?
Secara teori dicantumkan bahwa rakyat memanglah otoritas tertinggi dalam kekuasaan politik, tetapi hal beruntun yang terjadi belakangan ini menyiratkan pernyataan bahwa rakyat tidak memiliki hak untuk berbicara sebagai warga negara. Apakah rakyat hanyalah alat politik bagi pemegang otoritas kekuasaan?
“Saat ini telah terjadi reduksi atas demokrasi.Yakni bukan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan dari rakyat, oleh elit, dan untuk elit. Inilah fakta yang ada saat ini di Indonesia”. Kutipan tersebut dicetuskan ole Moh. Mahfud MD yang dimuat dalam website resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tahun 2012, bahkan masih relevan hingga kini, meski telah terjadi pergantian kepemerintahan secara menyeluruh.
Pemerintah yang mengabaikan rakyat dalam kepentingan dan melanggar kewajibannya membuat Indonesia diambang keterpurukan saat ini. Kemunduran demokrasi yang disebabkan bukan hanya karena isu elitis semata, tetapi juga pengabaian yang dilakukan pemerintah menjadi momok yang menghantui masyarakat. Demokrasi yang menjadi dasar telah dirobohkan oleh oknum-oknum dengan kepentingan. Kini Indonesia jauh dari kata ideal karena lebih dikendalikan oleh elitis dibanding suara rakyat yang berteriak membela kebenaran hingga kering kerongkongan.
Kita semua harus bergerak, belajar, dan mulai ingin tahu atas segala isu yang sedang subur menggerogoti negara sendiri. Kita perlu teriakkan pada elit-elit politik yang merasa berada di ‘atas’ sana, untuk mengadakan evaluasi menyeluruh dalam sistem pemerintahan Indonesia. Pasalnya, keadilan menjadi sangat asing karena yang membela habis-habisan pada akhirnya tersingkir. Demokrasi yang disepakati dan dipelihara sejak lama, nyatanya hanya ilusi dan formalitas yang membungkusi keberingasan elit politik yang hanya peduli pada kekuasaan semata.
Redaktur: Fatimah Roudatul Jannah