Oleh: Ardina Mendrofa
Suara USU, Medan. Hidup sebagai anak rantau bukan hanya tentang kemandirian dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru. Akan tetapi, juga tentang bagaimana seseorang mampu mengelola ruang dan barang yang dimilikinya. Namun, di balik keterbatasan ruang, muncul fenomena yang sering luput dari perhatian, yang biasa disebut dengan hoarding disorder atau gangguan menimbun. Lantas, apa yang melatarbelakangi fenomena ini?
Banyak orang merasa asing dengan istilah hoarding disorder, bahkan tidak menyadari bahwa mereka mungkin mengalaminya. Menurut American Psychiatric Association dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), hoarding disorder merupakan gangguan mental yang ditandai dengan kesulitan membuang atau berpisah dengan barang-barang, terlepas dari nilai atau kegunaannya. Kondisi ini dikategorikan sebagai gangguan mental yang dapat berdampak signifikan terhadap kehidupan penderitanya (APA, 2013). Kebiasaan menyimpan barang secara berlebihan tanpa alasan yang jelas ini kerap terjadi pada anak rantau yang tinggal di kost sendirian.
Mengapa anak rantau rentan mengalami hoarding disorder?
Sebagai anak rantau yang hidup sendiri di perantauan tentunya mengalami banyak tekanan, seperti tekanan akademik atau pekerjaan, dan rasa kesepian yang sering kali muncul. Hal ini menyebabkan terbentuknya keterikatan emosional terhadap barang-barang yang mengingatkan pada kampung halaman, seperti hadiah dari keluarga atau teman, hingga rasa takut kehilangan sesuatu yang mungkin dibutuhkan di kemudian hari dengan alasan “siapa tahu nanti berguna”. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, yang dimana sebagai anak rantau tentunya hidup dengan finansial yang terbatas, sehingga lebih memilih untuk menyimpan barang-barang tersebut daripada membuangnya.
Hoarding disorder menunjukkan perilaku kecemasan yang berlebihan untuk membuang barang yang dimiliki walaupun sebenarnya sudah tidak berguna lagi. Selain itu, penderita juga merasa tidak peduli bahkan sudah merasa nyaman dengan kondisi kamar nya yang kotor dan berantakan karena dipenuhi dengan barang-barang yang tidak dipakai. Sebuah penelitian dari Frost & Hartl (1996) menyebutkan bahwa individu dengan kecenderungan hoarding sering kali mengalami kesulitan dalam pengambilan keputusan dan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi.
Beberapa dampak signifikan dapat terjadi apabila fenomena ini tidak segera diatasi.
1. Menurunnya kualitas hidup
Gangguan hoarding disorder dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Barang yang bertumpuk atau berantakan menyebabkan lingkungan menjadi kotor, sehingga menimbulkan penyakit dan memicu terjadinya masalah kesehatan. Lingkungan yang kacau juga dapat menyebabkan kecemasan, stress, serta mengganggu fokus dan produktivitas.
2. Menghambat interaksi sosial
Penghuni kost yang mengalami hoarding disorder cenderung enggan untuk menerima tamu datang karena merasa malu dengan kondisi kamarnya. Penderita juga merasa tidak mampu untuk meminta bantuan kepada orang lain karena memiliki rasa ketidakpercayaan diri, sehingga sering merasa terasing atau takut dihakimi yang pada akhirnya semakin memperburuk kondisinya. Hal ini juga sesuai dengan konteks dimana sebagai anak rantau tentunya jauh dari keluarga atau tidak memiliki sistem dukungan sosial yang kuat.
3. Menyebabkan konflik interpersonal
Barang yang menumpuk dan berantakan bisa menyebabkan lingkungan kost menjadi kotor dan terasa sempit, sehingga dapat menyebabkan konflik dengan tetangga dan pemilik kost. Individu dengan hoarding disorder dipercaya memiliki tingkat konflik interpersonal yang tinggi dan biasanya sulit diajak bekerja sama untuk membersihkan kamar maupun lingkungan kost.
Untuk mengatasi fenomena ini, dimulai dengan kesadaran diri bahwa menumpuk barang secara berlebihan bukanlah kebiasaan yang benar. Pilah barang yang benar-benar dibutuhkan dan masih digunakan. Terapkan aturan one in, one out, yang artinya satu masuk, satu keluar. One in one out ini semacam cara untuk membatasi keinginan membeli sesuatu yang selalu muncul. Tindakan ini dapat membatasi jumlah barang-barang yang dimiliki, dan memastikan tidak mengumpulkan lebih banyak barang daripada yang disingkirkan. Namun, jika kesulitan untuk membuang barang sudah menyebabkan kecemasan yang berlebihan, segera mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Redaktur: Indira Rivany