Menemukan Jati Diri dengan Perspektif Psikologi dalam Buku ‘Aku yang Sudah Lama Hilang’

Sumber : ebooks.gramedia.com

Oleh: Rifatul Suaidah

 Suara USU, Medan. Era modern yang penuh dengan tekanan dan tuntutan, menyebabkan pencarian akan jati diri menjadi sebuah kebutuhan yang acap kali mendesak setiap orang. Apakah kita benar-benar mengenal diri kita sendiri? Pernahkah kita merasa asing dengan refleksi yang ditampilkan oleh diri sendiri dalam sekelabat masa pada perjalanan hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringnya mampir mengitari diri kita saat hidup seakan kehilangan arah. Buku bertajuk ‘Aku yang Sudah Lama Hilang’ hadir laksana kompas penuntun yang menawarkan jawaban melalui perspektif psikologis untuk menemukan langkah praktis dalam pencarian  kembali makna diri yang sejati.

Buku ini merupakan karya Nago Tajena, M. Psi., Psikolog, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada tahun 2024. Penulis mengajak pembaca mengulik cerita dalam buku ini melalui perspektif seorang psikolog, sehingga menarik untuk dibaca dan dibahas secara keseluruhan dengan mendalam berdasarkan keilmuan yang jelas. Dalam bukunya, ia mengajak para pembaca untuk tidak sekadar menggunakan topeng untuk memuaskan orang lain sepanjang waktu dan mencoba menjadi diri sendiri.

Dalam karyanya ini, Nago mengajak pembaca menyelami setiap kalimat lebih dalam untuk menemukan makna tersirat dari setiap bagian dalam buku. Salah satu kutipan yang berkesan dari buku ini ialah “If you don’t know what the best for you, then no one knows”. Kalimat tersebut berarti, “jika kamu tidak mengetahui yang terbaik untuk dirimu, maka tidak ada seorangpun yang mengetahuinya”. Kutipan ini adalah deklarasi kemandirian jiwa yang menyatakan bahwa navigasi kehidupan adalah urusan pribadi. Orang lain mungkin menawarkan kompas, peta atau petunjuk arah lainnya. Akan tetapi, hanya kita yang memegang kunci untuk membuka pintu takdir kita sendiri.

Sebagai seorang mahasiswa, kita seringkali menerima tekanan dari keluarga, teman dan masyarakat untuk mengejar jalur yang dianggap sebagai jalur kesuksesan. Sehingga kita cenderung tidak peduli dengan apa yang sebenarnya kita inginkan dan justru hanya mengejar ekspektasi dari luar diri yang demi mencapai ‘kesuksesan’ tersebut. Perlu kita pahami, bahwa sebagai mahasiswa seharusnya menempatkan nasihat atau masukan dari orang lain sebagai evaluasi yang bermanfaat. Namun, ketetapan atas keputusan akhir yang diambil haruslah bersandar pada hal yang terbaik menurut diri sendiri, bukan pada pemuasan ekspektasi orang lain.

Meskipun terbilang lebih menekankan pesan-pesan tersirat secara umum, tedapat beberapa hal yang dapat kita adopsi untuk diterapkan dalam diri sendiri terlebih sebagai seorang mahasiswa, sebagai berikut :

  1. Self-Awareness (Kesadaran Diri)

Menemukan minat dan bakat diri agar tidak tersesat pada arah yang mengundang penyesalan. Perumpaannya dapat kita gambarkan dengan kondisi seseorang yang merasakan tekanan saat harus memuaskan keinginan orang tuanya yang menuntut kesempurnaan pada bidang-bidang yang bertentangan dengan dirinya sendiri. Dengan self-awareness ini, kita dapat lebih mengendalikan ekspektasi orang lain sebab telah lebih memahami keinginan dan kebutuhan yang dapat diusahakan dalam hidup.

  1. Self-Acceptance (Penerimaan Diri)

Kesadaran bahwa setiap manusia berbeda beda dan tugas kita adalah meluaskan penerimaan. Misalnya, individu yang merasa kurang dalam setiap kegiatan yang ia upayakan, merasa minder karena tidak secerdas teman-temannya. Ia merasa malu dan tidak percaya diri dalam setiap kesempatan yang mengharuskannya memberikan tanggapan. Dengan self-acceptance, orang tersebut dapat mulai belajar menerima dirinya sendiri termasuk kelebihan dan kekurangan diri. Sehingga ia dapat menunjukkan seperti apa dirinya tanpa merasa takut atas pandangan maupun penilaian orang lain yang berada di luar kendalinya.

  1. Authenticity (Keaslian)

Menjadi diri sendiri tanpa harus menjadi orang lain, menonjolkan apa adanya diri yang unik tanpa harus berusaha memahat kepribadian yang berbeda di depan banyak orang. Misalnya, individu yang berusaha menjadi orang lain dengan menyembunyikan minat dan keinginannya hanya untuk diterima dalam suatu kelompok. Ia berupaya mengikuti gaya hidup kelompoknya padahal hal tersebut bertentangan dengan prinsip pribadi. Untuk itu, dengan authenticity, ia dapat menemukan lingkungan pertemanan yang tepat serta berani mengekspresikan pendapatnya dengan leluasa.

Nah, sobat SU, seperti apa sih gambaran akhir dari pesan yang coba buku ini sampaikan? Pada bab terakhir dalam bukunya, penulis memberikan penekanan di akhir kalimat. “Temukan dirimu yang sudah lama hilang. Kemudian, tunjukkanlah kepada dunia”. Kalimat ini merupakan bentuk penegasan agar setiap indvidu berani mencari potensi, minat dan impiannya secara bebas dan tidak terbatas. Juga menyadarkan kita akan impian yang mungkin terabaikan atau terlupakan karena tekanan sosial, ekspektasi keluarga dan orang lain. Proses ini membutuhkan keberanian dan ketangguhan jiwa untuk dapat belajar menjadi jujur atas diri sendiri. Maka mulailah buka kunci kehidupan yang ingin kamu jalani serta yakini dengan membebaskan diri dari kungkungan ekspektasi yang tidak membebaskan langkahmu.

Redaktur : Fatimah Roudatul Jannah

 

Related posts

Satire, Ambisi, dan Absurd Sirkus Kehidupan Dalam Novel “O”

Memahami Kisah Mereka yang Telah Tiada dalam Buku “Things Left Behind”

Wujudkan Inner Beauty dalam Dirimu dengan Menulis Lewat Buku Ini