Reporter: Indira Rivany
Suara USU, Medan. Krisisnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum di Indonesia telah menjadi isu yang semakin mendalam dan kompleks dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Melalui beberapa survei yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa masyarakat semakin skeptis terhadap lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga hukum tersebut bukanlah tanpa alasan sebab banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satu alasan utamanya adalah maraknya kasus korupsi yang secara sengaja maupun tidak sengaja melibatkan pejabat tinggi dan aparat-aparat penegak hukum.
Transparency International Indonesia (TII) mencatat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023 stagnan di angka 34 dari 100 menempatkan Indonesia pada peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Yang mana, skor tersebut mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Penurunan ini mencerminkan memburuknya persepsi publik terhadap penegakan hukum dalam memberantas korupsi. Tidak hanya itu, berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sejak 2004 hingga 2023, lebih dari 1.000 orang yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk pejabat negara, anggota legislatif, dan aparat penegak hukum, terjerat kasus korupsi. Misalnya, kasus korupsi yang melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2013. Kasus ini melibatkan beberapa hakim di Mahkamah Konstitusi yang diduga menerima suap terkait dengan keputusan dalam perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Kasus korupsi lainnya, terjadi pada Januari 2025, terungkap kasus pemerasan oleh aparat kepolisian terhadap peserta festival musik di Jakarta, yang menunjukkan adanya praktik korupsi di tingkat operasional kepolisian.
Selain korupsi, ketidakadilan dalam penegakan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi dalam proses hukum juga menjadi pemicu ketidakpercayaan masyarakat. Banyak kasus yang terkesan dipolitisasi, di mana hukum tidak dijalankan secara objektif dan adil, melainkan dipengaruhi oleh kekuatan politik dan ekonomi. Contohnya, kasus-kasus pencurian kecil yang melibatkan masyarakat miskin sering kali berakhir dengan vonis berat, sementara kasus-kasus korupsi bernilai miliaran rupiah bisa berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Fenomena ini menimbulkan persepsi bahwa hukum lebih berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan uang, bukan kepada keadilan yang seharusnya berlaku untuk semua.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat hukum juga menjadi faktor yang memperparah krisis ini. Kasus-kasus yang melibatkan aparat kepolisian dalam tindak kriminal semakin sering terjadi. Pada awal Februari 2025, tiga mantan anggota Polres Jakarta Selatan dipecat karena terbukti menerima uang untuk menghentikan kasus pembunuhan anak. Kasus tersebut menyoroti praktik pemerasan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap masyarakat yang terlibat dalam proses hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa lembaga penegak hukum sering kali justru menjadi bagian dari permasalahan, bukan solusi.
Situasi semakin parah karena minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam institusi hukum. Banyak kasus besar yang tidak diungkapkan dengan jelas kepada publik, atau bahkan dihentikan tanpa alasan yang transparan. Situasi ini menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap integritas lembaga-lembaga hukum yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menjaga keadilan dan ketertiban sosial.
Krisis kepercayaan ini berdampak besar pada stabilitas sosial dan ekonomi. Saat masyarakat merasa hukum tidak bisa diandalkan, mereka cenderung mencari cara lain untuk mendapatkan keadilan, seperti melalui aksi massa, protes, atau bahkan mengambil tindakan sendiri tanpa melalui proses hukum. Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan reformasi menyeluruh di institusi hukum.
Redaktur: Katrin Alina