Reporter: Zahra Zaina Rusty
Suara USU, Medan. “We listen, we don’t judge. “New year, new me.” “12 anggur di bawah meja.”
Di pergantian tahun yang baru saja terjadi, berapa banyak tren yang sudah kamu ikuti? Media sosial kini dipenuhi dengan berbagai unggahan tren yang dilengkapi dengan estetika rapi dan caption inspiratif. Munculnya suatu tren sering kali menjadi panggilan untuk mengikuti arus, bergabung dengan jutaan orang yang melakukan hal serupa. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kita terdorong untuk berpartisipasi dalam apa yang dianggap populer, meskipun belum tentu sesuai dengan kebutuhan atau kepribadian.
Fenomena ini dikenal dengan istilah bandwagon effect, yang merujuk pada kecenderungan seseorang untuk mengikuti apa yang dianggap populer, bahkan dari balik layar ponsel. Dalam konteks ini, individu sering kali terpengaruh oleh tren yang sedang viral di media sosial tanpa mempertimbangkan pilihan secara kritis. Bandwagon effect mencerminkan bagaimana tekanan sosial dan keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok dapat memengaruhi keputusan kita.
Bandwagon effect adalah fenomena psikologis di mana seseorang cenderung mengikuti apa yang dianggap populer atau dilakukan oleh mayoritas, tanpa mempertimbangkan pilihan tersebut secara kritis. Istilah ini sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu atau kelompok tertarik pada tren, ide, atau produk tertentu hanya karena banyak orang lain melakukannya. Bandwagon effect menunjukkan bahwa keputusan seseorang sering kali dipengaruhi oleh tekanan sosial dan keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok
Sebelum kita menyadarinya, kita mulai berpikir, “Mungkin aku juga perlu mencobanya.” Fenomena ini mencerminkan bandwagon effect, di mana kita cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh banyak orang, meskipun hal tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan atau kepribadian kita.
Mengapa efek ini begitu kuat? Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki dorongan alami untuk merasa diterima. Mengikuti tren sering kali memberikan rasa keterhubungan dan identitas bersama, membuat kita merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar. Misalnya, ketika teman-teman kamu membahas drama Korea yang sedang populer, kamu mungkin merasa perlu menontonnya agar tidak ketinggalan obrolan. Ketakutan ini dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO), yaitu perasaan cemas akan kehilangan momen penting yang sedang menjadi perhatian banyak orang.
Di satu sisi, bandwagon effect dapat membawa dampak positif. Tren tertentu, seperti tantangan olahraga atau kampanye sosial, sering kali mendorong orang untuk melakukan hal-hal baik. Namun, ada juga tren konsumsi yang boros, di mana individu membeli barang hanya karena viral di media sosial. Tren ini mendorong perilaku konsumtif tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata. Tekanan sosial yang muncul membuat kita merasa harus mengikuti agar diterima, meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan kepribadian kita.
Namun, ada sisi gelap yang tidak bisa diabaikan. Terlalu sering mengikuti tren dapat membuat kita kehilangan identitas diri. Kita mungkin mulai bertanya, “Apakah ini benar-benar aku, atau apakah aku hanya berusaha menyesuaikan diri?” Tekanan sosial untuk selalu up-to-date juga dapat menjadi beban, terutama jika tren tersebut mendorong konsumsi yang tidak perlu. Dari membeli pakaian baru setiap bulan hingga mengikuti gaya hidup tertentu, tren ini dapat memicu perilaku boros yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Menjadi autentik bukanlah hal yang mudah, terutama ketika dunia seakan menuntut kita untuk selalu up-to-date dan relevan. Mengikuti tren sering kali terasa seperti kewajiban tak tertulis agar kita tetap “terlihat” di mata orang lain. Namun, menjadi autentik merupakan bentuk keberanian yang jauh lebih berharga daripada sekadar menumpang popularitas. Autentisitas berarti berani menyaring apa yang kita lihat, mendengarkan diri sendiri, dan memilih hanya hal-hal yang benar-benar bermakna bagi kita.
Autentisitas bukan hanya tentang menolak tren secara sengaja, tetapi juga tentang memahami mana yang benar-benar selaras dengan nilai dan identitas kita. Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang sedang populer, asalkan kita melakukannya dengan alasan yang jujur, bukan sekadar untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Ketika kita memilih untuk menjadi autentik, kita menciptakan ruang bagi diri kita untuk tumbuh, berinovasi, dan mengekspresikan kreativitas dengan cara yang unik.
Jadi, di tengah derasnya arus tren yang datang dan pergi, beranilah untuk bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini bagian dari cerita yang ingin saya tulis?” Jika tidak, biarkanlah itu berlalu. Dunia mungkin dipenuhi dengan pengikut, tetapi selalu ada tempat bagi mereka yang berani berjalan sendiri, menciptakan jejak yang unik, dan menulis cerita yang abadi.
Redaktur: Hanna Letare