Refleksi Ketidakadilan dan Diskriminasi Berbalut Drama Musikal Dalam Film “Wicked”

Sumber foto: radarbogor.jawapos.com

Oleh: Reinhard Halomoan

Suara USU, Medan. Pada tanggal 20 November 2024, Film “Wicked” karya John M. Chu yang diproduseri oleh Marc Platt Production melakukan rilis pertamanya di Indonesia. Film ini diadaptasi dari novel berjudul ‘The Wonderful Wizard of Oz”, karya L. F. Baum yang dirilis pada tahun 1900 silam. Film dengan durasi 2 jam 40 menit ini dibalut dengan drama musikal yang memanjakan mata. Lebih luar biasanya lagi, set film ini tidak menggunakan layar hijau dalam proses pembuatannya. Sutradara John M. Chu memilih untuk membangun seluruh properti yang diperlukan pada film ini.

Film “Wicked” merupakan sebuah film musikal yang mengisahkan tentang kehidupan seorang wanita bernama Elphaba yang terlahir dengan kulit berwarna hijau. Oleh karena kondisinya tersebut, Elphaba sering mendapatkan diskriminasi dari teman-teman sebayanya, dan bahkan dari orang tuanya. Meskipun demikian, Elphaba memiliki bakat sihir yang jauh melebihi gadis-gadis sebayanya, sehingga ia mendapatkan jalur kuliah khusus di Universitas Whiz, sebuah Universitas ternama di Oz. Elphaba memiliki seorang teman di kampusnya bernama Glinda. Glinda sendiri digambarkan sebagai figur yang ceria dan populer di kampus mereka, berbanding terbalik dengan Elphaba. Bukan hanya pada diri Elphaba saja, potret ketidakadilan digambarkan juga dalam kehidupan bermasyarakat di negeri tempat Elphaba tinggal, Oz. Dikisahkan di negeri tersebut, binatang dan manusia merupakan makhluk yang setara, tetapi sekelompok penguasa berusaha untuk menempatkan binatang pada derajat yang lebih rendah dari manusia.

Jika anda menyukai film dengan konsep dengan drama musikal, ini adalah film yang sangat sesuai dengan anda. Sebab, dialog-dialog penting dalam film ini dibuat dalam konsep musikalisasi. Setiap musikalisasi dialog dibuat dengan menyesuaikan tensi dialog sehingga dinamika film tetap terjaga. Selain itu, Ariana Grande yang memerankan Glinda dan Cynthia Erivo yang memerankan Elphaba sukses memainkan perannya dengan sangat baik. Kemampuan acting keduanya berhasil menggugah emosi dan rasa penasaran penonton untuk terus mengikuti jalan ceritanya.

Selain itu, apresiasi tertinggi juga patut diberikan kepada John M. Chu selaku sutradara. Ambisinya dalam mengadaptasi novel The Wonderful of Oz secara utuh membuat film ini memiliki satu hal spesial dibandingkan dengan film lain. Seluruh perlengkapan, properti, dan bahkan latar dalam film ini tidak menggunakan greenscreen. Salah satu properti dan latar terbaik yang dibuat tanpa greenscreen ialah kereta yang digunakan Elphaba untuk pergi ke Kota Zamrud, tempat penyihir besar Oz tinggal. Sedangkan, salah satu latar dalam film ini adalah ketika adegan bernyanyi di Muchkinland, dimana sutradara menempatkan 9 juta bunga tulip asli di tempat tersebut, sehingga memberika pengalaman yang lebih nyata kepada penonton.

Dari segi cerita, film ini juga layak diacungi jempol. Lebih dari sekedar film yang mengisahkan tentang kisah penyihir biasa, film ini juga menjadi representasi dari disparitas sosial yang ada dalam kehidupan nyata. Elphaba yang terlahir berbeda dari manusia lain di negerinya mendapatkan diskriminasi yang luar biasa. Sejak kecil, Elphaba selalu mendapatkan perundungan dari teman-teman sebayanya. Ia bahkan tidak diperlakukan secara adil oleh ayahnya yang lebih menyayangi adik Elphaba dibanding Elphaba. Meskipun demikian, Elphaba tetap berjiwa besar dan sama sekali tidak memiliki rasa iri kepada adiknya yang jauh lebih disayang daripada dirinya. Selain itu, Elphaba juga membantu kaum binatang untuk memperjuangkan diskriminasi terhadap mereka. Dalam film digambarkan bahwa penguasa berusaha untuk menurunkan derajat hidup binatang dengan menghilangkan kemampuan mereka untuk berbicara, membuat mereka tinggal di kandang, dan masih banyak lagi. Oleh karena perasaan senasib, Elphaba merasa bahwa dirinya juga harus turut memperjuangkan hak kaum binatang untuk kembali mendapatkan kesetaraan di negeri Oz.

Walaupun memiliki visualisasi yang menarik dan alur cerita yang membuat penonton penasaran, film “Wicked” juga memiliki beberapa kekurangan tersendiri. Salah satunya adalah durasinya yang dirasa terlalu lama oleh beberapa penonton. Sebenarnya, hal ini disebabkan oleh banyaknya musikalisasi dialog dalam film ini, sehingga untuk satu dialog atau adegan tertentu, terkadang memakan waktu lebih dari 15 menit. Rasanya, hal tersebut tidak diperlukan untuk sebab sebenarnya inti dari beberapa dialog tersebut tidak krusial dan seharusnya dapat disampaikan dalam waktu yang lebih singkat. Meskipun banyak kontroversi terkait argumen ini, sudah selayaknya hal tersebut menjadi evaluasi bagi seluruh tim produksi agar dapat membuat film yang lebih baik lagi kedepannya.

Film ini sangat worth to watch, apalagi untuk Sobat Suara USU yang sedang berlibur dan ingin menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat. Film “Wicked” ini tergolong easy to watch dan dapat dinikmati oleh berbagai kalangan usia. Alur yang diberikan mudah dipahami dan pengalaman yang diberikan dalam menonton film ini membuat kita seperti sedang menonton drama musikal di panggung.

Redaktur: Afrahul Fadhillah Parinduri 

Related posts

Kisah Tiga Perempuan Jenius yang Hampir Terlupakan dalam Film Hidden Figures

Melawan Stigma dan Menggapai Asa, Kisah Inspiratif Penderita Cerebral Palsy dalam Film Big World

Mengekspos Eksploitasi Kepercayaan Keagamaan Melalui Serial The Believers