Oleh: Rizqi Putra Permono
Suara USU, Medan. Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola antara dua kesebelasan. Masing-masing tim memiliki pemain di posisinya, seperti kiper, bek, gelandang, dan penyerang. Namun, tiba-tiba wasit, yang seharusnya netral, ikut bermain dan memihak salah satu tim. Permainan pun menjadi tidak adil, batas antara pengadil dan pemain kabur, dan penyalahgunaan kewenangan tak terhindarkan.
Analogi ini menggambarkan bagaimana jika militer masuk ke jabatan sipil, merangkap tugas antara menjaga kedaulatan negara dan mengemban jabatan administratif. Militer dan sipil memiliki peran yang berbeda, dan mencampurkan keduanya tanpa batasan yang jelas dapat menimbulkan konsekuensi serius.
Baru-baru ini, DPR RI berencana mengkaji ulang Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Presiden Prabowo Subianto telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk membahas rancangan revisi tersebut. Salah satu poin krusial dalam draf revisi, tepatnya Pasal 47, memungkinkan prajurit aktif menempati jabatan di berbagai kementerian dan lembaga sipil berdasarkan kebijakan presiden.
Saat ini, Pasal 47 UU TNI yang berlaku hanya mengizinkan prajurit menempati jabatan sipil setelah mengundurkan diri dari dinas aktif dan dibatasi pada 10 kementerian serta lembaga tertentu. Revisi ini membuka peluang interpretasi yang lebih luas dan berpotensi mencederai supremasi sipil atas militer salah satu semangat utama Reformasi.
Wacana revisi ini, ditambah dengan meningkatnya jumlah prajurit aktif di jabatan sipil dalam beberapa tahun terakhir, menimbulkan pertanyaan: Apakah Indonesia sedang kembali ke era Dwifungsi Militer? Mengapa hal ini mengkhawatirkan?
Dwifungsi Militer dalam Lintasan Sejarah Orde Baru. Dalam sejarah Indonesia, militer pernah mendominasi pemerintahan melalui konsep Dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Militer tidak hanya bertugas menjaga keamanan negara, tetapi juga menduduki berbagai jabatan di pemerintahan, ekonomi, dan sosial.
Menurut IndoPROGRESS, pada 1966 terdapat 12 menteri, 27 anggota kabinet, serta 11 pejabat strategis kementerian yang berasal dari militer (Harisanto, 1993). Militer juga mengisi posisi legislatif dan pemerintahan daerah. Pada 1998, sebanyak 14 dari 27 gubernur di Indonesia berasal dari militer, dan sekitar 41,1% wali kota atau bupati juga dijabat oleh militer (Abdulsalam, 2017).
Pada awal Orde Baru, Dwifungsi ABRI digunakan untuk menutupi kebutuhan finansial Angkatan Darat. Perwira militer ditugaskan di sektor usaha negara, seperti Pertamina dan Bulog. Contohnya, Mayor Jenderal Ibnu Sutowo, Direktur Pertamina saat itu, diduga menyelewengkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, utang Pertamina membengkak hingga 10,5 miliar dolar AS pada 1970-an, dan Ibnu Sutowo akhirnya dipecat (Historia.id).
Namun, sejarah tampaknya kembali berulang. Pemerintah baru-baru ini menunjuk Mayor Jenderal Novy Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog. Keputusan ini menuai kritik karena UU TNI secara tegas melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil selain di 10 kementerian dan lembaga terkait pertahanan dan keamanan. Bulog, yang berfokus pada pangan, tidak termasuk di dalamnya.
Mengapa hal ini harus dikawatirkan?
Revisi UU TNI berpotensi membuka kembali peluang militer untuk mendominasi birokrasi sipil, sebagaimana terjadi di masa Orde Baru. Jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada Maret 2024 menunjukkan bahwa 41,1% responden menolak prajurit aktif TNI-Polri menduduki jabatan sipil. Ini menegaskan bahwa masyarakat menginginkan batas yang jelas antara lembaga sipil dan militer. Salah satu alasan utamanya adalah perbedaan kompetensi: TNI dan Polri tidak selalu memiliki keahlian yang relevan untuk mengelola instansi sipil.
Pasca-Reformasi 1998, supremasi sipil atas militer menjadi prinsip yang dijunjung tinggi, menegaskan bahwa militer harus berada di bawah kendali sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam politik. Wacana revisi UU TNI ini menandakan kemunduran demokrasi dan pelemahan supremasi sipil.
Masalah lain yang muncul adalah dampaknya terhadap internal TNI. Jika banyak perwira aktif terlibat dalam politik dan administrasi sipil, fokus utama mereka dalam menjaga kedaulatan negara bisa terganggu. Negara yang sehat seharusnya memenuhi kebutuhan militernya, bukan sebaliknya.
Selain itu, sejarah menunjukkan bahwa negara yang membiarkan militer terlibat dalam politik cenderung mengarah ke otoritarianisme dan represi kebebasan berpendapat. Di masa Orde Baru, peran besar militer dalam bidang sosial-ekonomi menjadi pilar utama bagi Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan, menggeser kebijakan negara lebih ke arah keamanan daripada kesejahteraan rakyat (Anwar, 2018).
Reformasi harus dijaga, meskipun pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bukan bentuk kembalinya Dwifungsi ABRI, publik harus tetap waspada. Demokrasi yang sehat menuntut kontrol sipil yang kuat atas militer, bukan sebaliknya. Jabatan sipil oleh prajurit aktif harus dibatasi secara ketat dan hanya dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan keahlian militer.
Amerika Serikat, misalnya, menerapkan prinsip supremasi sipil yang ketat. Menurut Feaver (2003), faktor ini menjadi salah satu pilar stabilitas politik AS. Militer di negara tersebut berada di bawah kendali sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam politik.
Reformasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade harus terus dijaga. Draf revisi UU TNI membuka ruang interpretasi yang dapat menghidupkan kembali Dwifungsi Militer kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Seperti dalam pertandingan sepak bola, peran pemain dan wasit harus tetap jelas. Jika wasit mulai ikut bermain, maka pertandingan akan rusak dan tidak lagi berjalan adil. Begitu pula dalam demokrasi: supremasi sipil dan netralitas TNI harus tetap dijaga.
Redaktur: Merry Agnus Dei Gultom