Oleh: Bunga Dwi Sartika
Suara USU, Medan. Sejak dulu, anak-anak Indonesia kerap menyanyikan lagu-lagu seperti Bangun Tidur atau bermain sambil diiringi Balonku. Namun, hanya sedikit yang tahu tentang pasangan hebat di balik harmoni sederhana namun abadi ini.
Soerjono atau yang lebih dikenal sebagai Pak Kasur, lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 26 Juli 1912. Ia mengawali pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Purbalingga dan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Magelang. Namun, kondisi ekonomi memaksanya berhenti dari pendidikan formal. Meski begitu, semangatnya untuk terus belajar dan mengajar tak pernah surut. Saat bekerja sebagai asisten guru di sekolah Ardjoena Yogyakarta, bakatnya terlihat oleh seorang guru yang kemudian mengirimnya untuk belajar di Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) yang merupakan sekolah guru. Di sana, kemampuan mengajarnya semakin berkembang, ditambah dengan kepribadiannya yang ceria dan mudah bergaul, yang kelak menjadi ciri khasnya.
Setelah proklamasi emerdekaan, Pak Kasur bersama keluarganya pindah ke Jakarta. Ia melanjutkan perannya sebagai guru sekaligus menjadi anggota Badan Sensor Film di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dedikasinya di dunia pendidikan dan seni terus bertumbuh, menjadikannya sosok yang dihormati.
Pasangannya, Sandiah, yang dikenal sebagai Ibu Kasur, lahir di Batavia (Jakarta) pada 16 Januari 1926. Ia menyelesaikan pendidikan di MULO, jenjang pendidikan menengah di masa kolonial Belanda. Sejak muda, Sandiah memiliki minat besar pada dunia seni dan anak-anak. Pertemuan Sandiah dengan Soerjono di Yogyakarta membawa mereka pada perjalanan cinta sekaligus kolaborasi luar biasa. Keduanya menikah pada 29 Juli 1946, membangun keluarga yang tidak hanya harmonis, tetapi juga penuh pengabdian bagi pendidikan anak-anak Indonesia.
Nama “Pak Kasur” berasal dari panggilan akrab teman-temannya, “Kak Sur” atau “Kak Soer.” Setelah menikah, Sandiah pun akrab disapa “Bu Kasur.” Bersama, mereka mendirikan Taman Kanak-Kanak Mini di Jakarta pada 1968, yang kemudian menjadi model baru pendidikan anak usia dini. Pada 1980, mereka mendirikan Yayasan Setia Balita, yang hingga kini mengelola beberapa cabang TK Mini di berbagai kota. Melalui lembaga ini, ribuan anak mendapatkan pendidikan yang kreatif dan penuh kasih sayang. Beberapa murid mereka bahkan tumbuh menjadi tokoh nasional, seperti Megawati Soekarnoputri, Kak Seto, Ateng, dan Guruh Soekarnoputra.
Sebagai pasangan, Pak Kasur dan Ibu Kasur menciptakan lebih dari 200 lagu anak yang masih akrab di telinga anak-anak Indonesia hingga kini, seperti Satu-Satu (Sayang Semuanya), Lihat Kebunku, Balonku, dan Bangun Tidur. Lagu-lagu mereka dibuat sederhana dan tanpa huruf “R,” sehingga mudah dinyanyikan oleh anak-anak. Melalui lagu seperti Sayang Semuanya, mereka menyisipkan nilai kasih sayang keluarga dalam melodi yang ceria.
Selain menciptakan lagu, Pak Kasur juga menulis cerita yang diadaptasi menjadi film seperti Amrin Membolos dan Siulan Rahasia, serta buku-buku percakapan anak seperti Dama-Dami. Bersama, mereka juga mengisi acara pendidikan anak di media, termasuk siaran anak di Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta dan program TV legendaris Taman Indria di Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Karya-karya mereka lahir dari pengalaman sehari-hari yang sederhana namun penuh makna. Salah satu contohnya adalah lagu yang diciptakan Ibu Kasur untuk anak mereka yang menjalani terapi polio. Lagu ini menjadi semangat untuk belajar berjalan kembali. Dalam kolaborasi mereka, Pak Kasur biasanya menciptakan melodi, sementara Ibu Kasur menyempurnakan liriknya.
Dedikasi mereka diakui luas baik lokal maupun internasional. Beberapa penghargaan yang mereka terima antara lain Bintang Budaya Parama Dharma (1992), Premio Adelaide Ristori (Italia, 1976), dan Penghargaan Siaran Ramah Anak dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) (2018).
Pak Kasur meninggal dunia pada 26 Juni 1992 dalam usia 79 tahun, meninggalkan warisan besar dalam dunia seni dan pendidikan. Sepuluh tahun kemudian, pada 22 Oktober 2002, Ibu Kasur wafat akibat serangan stroke di usia 76 tahun. Keduanya dimakamkan berdampingan di Desa Kaliori, Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah.
Redaktur: Fatih Fathan Mubina