Oleh: Nikolas Supriyanto
Suara USU, Medan. Perjuangan melawan kolonial Belanda telah dimulai sejak abad ke-19 dimana banyak pejuang-pejuang di tiap daerah berusaha mengusir kolonialis karena dianggap bertindak sewenang-wenang. Pergerakan dan perjuangan semakin radikal di abad ke-20, dimana pemikiran progresif mulai memasuki alam berpikir kalangan bumiputera yang sempat mengenyam pendidikan berkat kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial di awal abad ke-20.
Perlawanan terhadap pemerintah kolonial semakin menguat dan mulai mengarah pada pergerakan kolektif yang mengurangi sifat kedaerahan. Organisasi dan perkumpulan mulai terbentuk sebagai wadah untuk menampung aspirasi kalangan muda yang ingin Nusantara lepas dari cengkraman Belanda. Berbagai jenis perjuangan mulai terlihat tidak lagi hanya lewat angkat senjata dan strategi medan perang, melainkan perang pikiran lewat tulisan-tulisan radikal dan berbentuk provokasi yang mulai bertebaran untuk membentuk kesadaran rakyat bahwa kondisi mereka kala itu sedang dijajah. Ternyata cara ini lebih merisaukan bagi pemerintah kolonial dan menyulitkan mereka untuk menghentikannya. Cara ini kemudian banyak digunakan oleh tokoh-tokoh pergerakan termasuk mereka yang bekerja di bidang jurnalistik.
Ialah Marco Kartodikromo, seorang pria yang dilahirkan pada tahun 1890 di Blora, kini diketahui berada di wilayah Jawa Tengah. Marco Kartodikromo atau lebih dikenal dengan panggilan Mas Marco merupakan seorang jurnalis dan aktivis. Sebelum menjadi seorang jurnalis, Mas Marco merupakan seorang buruh perkeretaapian. Saat menjadi buruh, ia banyak mendapat pengalaman dan motivasi untuk menjadi seorang yang bergerak melawan pemerintahan kolonial, maka ia putuskan untuk melawan dengan tulisan.
Marco Kartodikromo kemudian menjadi jurnalis yang berkontribusi bagi media-media pada masa penjajahan kala itu seperti, Medan Prijaji, Saro Tomo, dan Doenia Bergerak. Dengan bahasa melayu kasar yang mudah dipahami oleh kaum bumiputera yang bisa membaca, Marco banyak mempengaruhi dan mengilhami pergerakan-pergerakan buruh lewat publikasi tulisannya. Kedekatannnya dengan buruh menjadikan tulisannya mempunyai perspektif yang sama dengan perasaan dan emosi buruh akibat tekanan kerja dan ketidakadilan.
Ide-ide dan tulisan Marco Kartodikromo dapat disebutkan sebagai salah satu sumbangan pembentuk jiwa nasioanlis dan semangat perjuangan. Nilai-nilai yang dibawa oleh Marco Kartodikromo banyak dipengaruhi oleh pemikiran progresif beraliran kiri. Perjuangan kelas begitu terasa dalam tulisan-tulisannya termasuk dalam karya sastranya. Ia sangat mengkritik perlakuan-perlakuan tidak adil pemerintah kolonial terhadap rakyat bumiputera.
Marco memutuskan untuk mendirikan Inlandsche Journalisted Bond (IJB) dan menerbitkan surat kabar yang diberi nama Doenia Bergerak pada 31 Januari 1914. Surat kabar Doenia Bergerak terbit secara mingguan (weekblad) setiap hari Sabtu. Terbitan pertama yakni edisi percontohan pada tanggal 31 Januari 1914 dilanjutkan dengan edisi perdana No. 1 pada 28 Maret 1914. Marco menjabat sebagai redaktur Doenia Bergerak, dan H. M. Bakrie menjabat sebagai administrasi, serta Drukkerij Insulinderi di Bandung yang bertanggung jawab atas percetakan surat kabar Doenia Bergerak.
Tulisan-tulisan yang dimuat dalam Doenia Bergerak, banyak bersifat radikal dan mengkritisi dengan tajam perlakuan tidak adil orang-orang Belanda. Pada suatu waktu, Marco menuliskan artikel yang mengkritik perlakuan seorang Nyonya Belanda di loket pengiriman surat terhadap seorang Jawa. Nyonya Belanda ini menghina orang Jawa tersebut di Kebumen dan langsung mendapat respon tajam oleh Marco Kartodikromo.
Kedekatan emosi dan perasaan sependeritaan ini yang membentuk semangat perjuangan Marco Kartodikromo. Ia begitu berani menulis kritikan-kritikan secara terbuka yang kemudian akan diikuti oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Cara-cara Marco diikuti PKI dengan mendirikan surat kabar yang berisi kritikan yang mana cara ini semakin meluas dan kelak akan disebut oleh pemerintah kolonial sebagai Batjaan Liar-red atau dapat diartikan sebagai ‘bacaan liar’. Dijuluki bacaan liar karena sifatnya yang memprovokasi rakyat sehingga perlu dikurangi pengaruhnya. Sehingga kemudian Balai Pustaka diberi tanggungjawab untuk mengatasi tulisan-tulisan radikal ini.
Marco Kartodikromo sendiri telah keluar masuk penjara karena aksi-aksinya yang radikal. Lanraad di Jogja pada 1921 pernah menjatuhi Mas Marco hukuman penjara selama 1.5 Tahun karena dianggap menghasut dan memprovokasi rakyat. Sebelum ditahan ia juga telah berulang kali diperiksa termasuk di tahun 1918. Namun, hukuman penjara ini tidak membuatnya menyerah, justru ia terus bersuara dan menulis hingga ia diasingkan ke Boven Digoel sebagai salah satu tokoh komunis yang aktif menulis. Ia akhirnya wafat di pengasingan Boven Digoel pada Maret, 1932.
Redaktur: Fatimah Roudatul Jannah