Terbaru, Mahasiswa USU Berhasil Ciptakan EBT Pembangkit Listrik dari Atap Seng dengan Cat Konduktif Limbah Aki Bekas

Foto: Kompetisi Think Efficiency 2022 oleh Shell dan ECADIN, Mandalika, Nusa Tenggara Barat (15/10/2022)

Oleh Agus Nurbillah

Suara USU, MEDAN. Telah kita sadari bersama bahwa saat ini ketika pemulihan ekonomi pasca Covid-19, kebutuhan akan listrik yang digunakan masyarakat semakin meningkat, mulai dari skala besar hingga pemenuhan listrik rumah tangga. Kebutuhan akan energi listrik ini selaras dengan jumlah penduduk masyarakat Indonesia dengan laju pertumbuhan yang semakin meningkat pula.

Besaran konsumsi listrik Indonesia saat ini mencapai 242,6 TWh, namun 80 persen energi listrik yang dihasilkan berbahan energi fosil yang bersifat tidak terbarukan serta diperkirakan akan habis dalam 20 tahun mendatang. Di samping itu, pemanasan global akibat efek rumah kaca semakin memperparah kondisi lingkungan dan keberlangsungan ekosistem bumi sehingga perlu adanya peralihan teknologi untuk menghasilakan energi listrik yang bersih.

Pandangan kita teralihkan ke daerah-daerah yang belum dapat menikmati energi listrik. Tidak terkecuali Karo dan Nias di Provinsi Sumatera Utara, dimana sejumlah dusun di sana belum sepenuhnya dapat menggunakan listrik untuk keperluan sehari-hari. Masyarakat daerah 3T seperti Karo dan Nias menggunakan genset untuk penerangan saat malam hari yang hanya bisa bertahan selama 6 jam. Kondisi medan yang sulit untuk diakses menjadi salah satu hambatan dalam membangun listrik di sana. Selain itu faktor ekonomi juga menjadi alasan bagi masyarakat Karo dan Nias sehingga mereka tidak dapat menjangkau solar cell dengan harga yang relatif mahal.

Melalui PT PLN pemerintah turut berupaya meningkatkan fleksibilitas pengembangan pembangkit energi baru terbarukan yang tercatat dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2019-2028, dengan target capaian sebesar 23 persen di tahun 2025. Hal ini juga didukung kuat dengan potensi energi surya yang sangat besar, karena Indonesia terletak di daerah tropis serta mendapatkan penyinaran matahari sepanjang tahun.

Selain itu untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 7, diperlukan teknologi dengan inovasi yang mampu memberikan perlindungan terhadap lingkungan. Sesuai dengan Deklarasi Bali G20 dalam Kesepakatan Sektor Energi, dibutuhkan upaya untuk menutup kesenjangan akses dan memberantas kemiskinan energi. Hal ini juga bertujuan untuk mencapai tujuan iklim dengan memperkuat rantai pasokan dan keamanan energi sehingga terwujudnya pembangkit listrik nol dan rendah emisi (Net Zero Emission).

Aki bekas mobil yang tidak melalui proses pengolahan limbah dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena mengandung senyawa logam berat timbal. Terlebih produksi aki bekas di Indonesia mencapai 800 ribu ton per tahun. Oleh karenanya dalam rangka menanggulangi pencemaran lingkungan, aki bekas mobil dipilih sebagai prekursor untuk mensintesis perovskite.

Untuk menjawab persoalan ini, mahasiswa Universitas Sumatera Utara telah menciptakan teknologi P-Volteg. Sebuah inovasi atap rumah berbahan seng yang dilapisi cat konduktif perovskite dari limbah aki bekas sebagai material absorber pembangkit listrik tenaga radiasi matahari dengan bantuan teknologi termoelektrik generator. Atap seng dipilih karena mayoritas atap perumahan di daerah Sumatera Utara berbahan seng yang merupakan konduktor baik.

P-Volteg dirancang sederhana dengan biaya yang murah sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk dapat memproduksi listrik secara mandiri. Termoelektrik generator (TEG) sebagai pembangkit listrik dan Metilamonium perovskite lead iodida dari limbah aki bekas berpadu dengan reduce graphene oxide (rGO) pada cat hitam konduktif dibuat untuk melapisi atap seng. Ketika cahaya matahari mengenai konstruksi atap seng P-Volteg, termoelektrik generator yang letaknya di bawah atap menyerap panas sehingga terjadi perbedaan suhu (Efek Seebeck) dan kemudian terjadi tegangan listrik yang akan disimpan dalam baterai. Listrik yang telah tersimpan dapat digunakan untuk menghidupkan lampu penerangan saat malam hari.

Inovasi dari atap seng ini mampu menghasilkan daya listrik sebesar 2,82 Watt dengan efisiensi 8 persen dalam skala prototipe. Selain itu P-Volteg memiliki beberapa keunggulan seperti instalasi yang cukup murah, yaitu berkisar 2-5 juta; ramah lingkungan karena menggunakan limbah aki mobil bekas untuk perovskite sehingga tidak menghasilkan emisi panas maupun jejak karbon (Zero Waste); serta dirancang portabel sehingga mudah untuk didistribusikan hingga ke berbagai daerah.

Meskipun efisiensi teknologi P-Volteg atap elektrik tidak sebesar solar cell, tetapi P-Volteg atap elektrik berpotensi dan layak untuk dikembangkan. Hal ini didukung Shell dan Energy Academy Indonesia melalui kompetisi Think Efficiency 2022 dimana P-Volteg yang diusung Schottky Team USU berhasil menjadi pemenangnya.

Redaktur: Salsabila Rania Balqish

Related posts

Menelusuri Keindahan dan Makna Rumah Bolon Pamatang Purba

Filosofi Tari Gubang dari Asahan yang Bersifat Magis

Local’s Chambers, Peluang Emas bagi Local Community