
Oleh: Dewi Putri B Simarmata
Suara USU, Medan. Korupsi selalu menjadi musuh bersama. Setiap kali skandal korupsi mencuat ke permukaan, publik tidak pernah absen dalam menyuarakan kemarahan. Mengecam, menuntut hukuman seberat-beratnya, bahkan melontarkan hinaan kepada kehidupan pribadi sang koruptor. Tak jarang, anak dan keluarganya pun ikut menjadi sasaran hujatan, seolah hukuman dosa korupsi itu harus diwariskan. Di media sosial, mereka dicap sebagai musuh rakyat dan dijadikan bahan cacian seolah tiada ampun. Wajar, kemarahan ini tentu beralasan sebab korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, tetapi juga pengkhianatan terhadap kesejahteraan rakyat. Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti keadilan, merampas hak masyarakat, dan memperlambat kemajuan bangsa. Uang yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, infrastruktur, atau layanan kesehatan malah masuk ke kantong pribadi segelintir elite. Tak heran jika Transparency International, dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023, menempatkan Indonesia di skor 34 dari 100, di mana semakin rendah angka (mendekati 0), maka semakin menunjukkan tingginya tingkat korupsi. Posisi ini bahkan lebih buruk dibandingkan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Malaysia (47) dan Timor Leste (42).
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengungkap betapa mengkhawatirkannya situasi ini di Indonesia. KPK telah menangani 1.512 kasus tindak pidana korupsi sejak 2004 hingga 2023. Pada tahun 2022, KPK menangani 120 perkara korupsi, dengan mayoritas kasus yang berkaitan dengan suap dan gratifikasi. Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat 791 kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2023, dengan jumlah tersangka mencapai 1.695 orang. Lebih mengkhawatirkan lagi, peringkat Indonesia dalam IPK global turun dari posisi 110 pada 2022 menjadi 115 pada 2023, menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Praktik korupsi masih terus terjadi, seolah sudah menjadi penyakit yang tak kunjung sembuh dan sepertinya tidak akan sembuh.
Maka wajar, wajar jika publik selalu bereaksi keras setiap kali ada kasus korupsi yang muncul. Kemarahan terhadap para koruptor bukan sekadar ekspresi, tetapi juga bentuk frustrasi atas ketidakadilan yang terus berulang. Mereka yang sudah diberikan kepercayaan justru menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, sementara rakyat harus berjuang dengan keterbatasan fasilitas publik, pendidikan yang mahal, hingga layanan kesehatan yang tidak merata. Namun entah tidak sadar atau hanya pura-pura tidak sadar, dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar dari kita masyarakat nyatanya masih berkompromi dengan praktik korupsi skala kecil.
Korupsi bukan hanya tentang miliyaran rupiah yang dikemplang dari kas negara atau proyek infrastruktur yang dikorupsi hingga mangkrak. Korupsi juga hadir dalam bentuk yang lebih kecil, lebih halus, dan lebih dekat dari yang kita kira. Saat seseorang memberi uang “terima kasih” agar urusan administrasinya dipermudah, saat ada yang membayar pungutan liar untuk mendapatkan layanan lebih cepat, atau ketika suara dijual dalam pemilu demi sejumlah uang, sesungguhnya kita sedang membiarkan akar korupsi tetap tumbuh subur.
Korupsi dalam kehidupan sehari-hari sering kali tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan. Masyarakat terbiasa melihatnya sebagai “jalan pintas” atau bahkan sekadar kebiasaan yang sudah umum terjadi. Padahal, praktik-praktik ini adalah bagian dari kebiasaan yang justru terus memupuk budaya korupsi. Misalnya, ketika seseorang memberikan uang ekstra agar proses administrasi lebih cepat selesai, itu bukan sekadar “uang rokok”, melainkan salah satu bentuk suap dalam skala kecil. Begitu pun dengan “uang damai” saat melanggar lalu lintas, yang bukan hanya merusak sistem hukum, tetapi juga memberi ruang bagi aparat yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik untuk terus menyalahgunakan wewenang mereka.
Bahkan dunia pendidikan pun tidak lepas dari praktik semacam ini. Contoh yang paling sering terjadi adalah ketika mahasiswa memberikan hadiah kepada dosen dengan harapan mendapatkan nilai yang lebih baik atau bahkan pada kasus yang secara terang-terangan melakukan suap agar bisa masuk sekolah atau universitas yang diinginkan. Misalnya, pada tahun 2022, Rektor Universitas Lampung (Unila), Karomani, yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Kasus ini mencerminkan bagaimana praktik suap telah turut merusak integritas lembaga pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Di tempat kerja, bentuknya bisa berupa pegawai yang membolos atau bahkan tidak melakukan pekerjaannya dengan baik namun tetap menerima gaji penuh, atau juga penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Semua ini, meskipun tampak remeh, pada dasarnya adalah tindakan koruptif yang sama bahayanya dengan kasus besar yang sering kita kecam.
Kita terbiasa membagi korupsi menjadi “besar” dan “kecil”, seolah-olah ada bentuk korupsi yang lebih dapat diterima dibandingkan yang lain. Padahal, esensi dari korupsi tetap sama, yakni penyalahgunaan kekuasaan atau posisi demi keuntungan pribadi. Menuntut keadilan bagi kasus-kasus korupsi besar memang penting, tetapi jangan sampai kita lupa untuk bercermin. Sebab, pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada hukum dan lembaga penegak keadilan, tetapi juga pada sejauh mana masyarakat berani mengatakan tidak pada segala bentuk korupsi, sekecil apa pun itu.
Redaktur: Alicia Reylina
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.