SUARA USU
Opini

KPK Lemah Korupsi Kuat

(Sumber: Instagram/@officialkpk)

Oleh: Cynthia MA

Suara USU, Medan. Sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia diguncang oleh terungkapnya berbagai kasus mega korupsi. Salah satu yang terbaru adalah dugaan praktik pengoplosan Pertamax dengan Pertalite oleh Pertamina Patra Niaga, yang berpotensi merugikan negara hingga Rp193,7 triliun dalam satu tahun.

Fenomena ini memunculkan anggapan bahwa korupsi semakin marak di era Prabowo. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah banyak kasus yang baru terungkap. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa kasus-kasus ini baru terbongkar sekarang? Apakah selama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum tidak cukup efektif dalam menjalankan tugasnya?

KPK yang dulu dikenal sebagai lembaga independen kini dinilai tumpul dalam menangani kasus korupsi akibat intervensi kekuasaan. Melemahnya KPK mulai terasa sejak revisi Undang-Undang (UU) KPK No. 19 Tahun 2019 disahkan, sekalipun pemerintah mengklaim perubahan ini bertujuan memperkuat lembaga antikorupsi. Penolakan dari berbagai elemen masyarakat tidak mampu membendung revisi yang akhirnya berlaku sejak 17 Oktober 2019.

Dalam siniar Back to BDM, mantan Wakil Ketua KPK, Chandra M. Hamzah menantang pihak yang dulu mendukung revisi UU KPK. Ia mempertanyakan apakah perubahan ini benar-benar membuat KPK lebih kuat atau justru sebaliknya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa revisi ini justru menghambat kinerja KPK, terutama dalam operasi tangkap tangan (OTT) dan penyadapan.

Kini KPK tidak bisa lagi menyadap secara independen tanpa izin dewan pengawas, penyadapan tak bisa dilakukan, dan ada 6 tahapan birokrasi yang harus dilewati, termasuk penyelidikan dan gelar perkara. Adanya kerenggangan ini meningkatkan risiko bocornya informasi serta memperlambat proses investigasi. Padahal, negara lain seperti Singapura dan Hong Kong yang berhasil memberantas korupsi justru memberikan keleluasaan penuh bagi lembaga antirasuah mereka dalam melakukan penyadapan dan investigasi.

Laporan tren vonis korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap bahwa rata-rata vonis bagi koruptor masih tergolong ringan, hanya sekitar 3ā€“4 tahun penjara. Salah satu contohnya adalah kasus Tamrin Tamin, Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang terbukti melakukan korupsi senilai Rp4,2 miliar, tetapi hanya dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.

Vonis ringan seperti ini justru memperkuat anggapan bahwa korupsi adalah kejahatan berisiko rendah dengan keuntungan yang besar. Akibatnya, tidak ada efek jera dan kasus serupa terus berulang.

Selain itu, revisi UU KPK Tahun 2019 juga memperkenalkan aturan baru terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jika dalam dua tahun kasus tidak selesai, maka KPK harus menghentikan penyidikannya. Contohnya, kasus dugaan suap dan alih fungsi hutan di Provinsi Riau yang melibatkan bos PT. Duta Palma, Surya Darmadi, terpaksa dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kasus benar-benar kekurangan bukti, ataukah justru batas waktu yang menjadi penghambat dalam pengungkapannya?

Padahal sebelum revisi UU KPK 2019, lembaga antirasuah ini memiliki kewenangan penuh dalam menangani kasus tanpa tekanan batas waktu. Khusus untuk kasus berskala besar yang melibatkan pencucian uang lintas negara, investigasi membutuhkan waktu yang panjang. Terlebih jika ada keterlibatan rekening fiktif, dokumen palsu, atau transaksi tersembunyi di luar negeri. Dengan ditetapkannya batas waktu dua tahun, tersangka justru memiliki peluang untuk mengulur waktu, menghilangkan jejak, atau bahkan bernegosiasi untuk meringankan tuntutan.

Yang lebih mengkhawatirkan, kasus korupsi ternyata juga terjadi di dalam tubuh KPK sendiri. Salah satu contoh adalah kasus suap yang melibatkan penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, pada 2021. Ia terbukti menerima suap dari Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial, untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi.

Skandal ini semakin memperlihatkan bahwa masalah di tubuh KPK bukan sekadar soal kewenangan yang tergerus, tetapi juga soal integritas internal. Jika lembaga antikorupsi itu sendiri bisa terjerat kasus korupsi, bagaimana bisa diharapkan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan praktik korupsi di Indonesia?

Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari dalam, dengan memastikan integritas dan akuntabilitas setiap individu di dalam KPK sendiri. Dewan Pengawas yang selama ini dianggap menghambat penyadapan dan OTT seharusnya lebih fokus pada pencegahan korupsi di tubuh KPK sendiri. Perlindungan bagi pegawai berintegritas juga harus dijamin agar mereka berani mengungkap penyimpangan tanpa intimidasi. Lebih lanjut, transparansi dalam seleksi dan promosi pegawai perlu diperkuat untuk memastikan hanya individu yang berkomitmen dalam pemberantasan korupsi yang berada di dalamnya.

Sudah saatnya hak eksklusif Ā KPK sebagai lembaga independen dikembalikan. Revisi Undang-Undang KPK Tahun 2019 terbukti justru melemahkan lembaga ini dalam menangani kasus korupsi, dengan berbagai pembatasan yang menghambat efektivitas kerja mereka. Alih-alih memperkuat KPK, revisi tersebut justru menjadi tali yang mengikat kewenangan lembaga ini dalam memberantas korupsi.

Adapun pengesahan UU Perampasan Aset harus segera diprioritaskan. Selama ini, hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi masih terbilang ringan, dan denda yang dijatuhkan belum mampu menutupi kerugian negara. Dengan adanya regulasi perampasan aset, pemerintah bisa memastikan bahwa harta hasil korupsi benar-benar dikembalikan ke kas negara, bukan hanya sekadar menghukum pelaku dengan pidana penjara.

Tidak terlupakan, evaluasi terhadap kinerja KPK juga harus dilakukan secara berkala dengan melibatkan elemen masyarakat sipil. Keterlibatan publik dalam mengawasi kinerja lembaga ini bisa menjadi kontrol yang efektif untuk memastikan KPK tetap berjalan sesuai dengan mandatnya. Jika di negara lain ada lembaga antikorupsi yang mendapatkan dukungan penuh dari negara dan rakyatnya, mengapa Indonesia justru membatasi KPK?

Tanpa langkah konkret untuk menguatkan kembali peran KPK, pemberantasan korupsi di Indonesia hanya akan menjadi wacana tanpa hasil nyata. Pemerintah dan DPR harus segera mengembalikan wewenang penuh KPK agar korupsi tidak semakin mengakar dan merugikan negara lebih dalam. Sebab, jika korupsi terus tumbuh subur, dampaknya bukan hanya pada keuangan negara, tetapi juga pada kesejahteraan rakyat yang semakin terabaikan.

Redaktur: Fatih Fathan Mubina


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Catcalling, Beda Tipis antara Candaan dan Pelecehan

redaksi

Usulan Sawit Jadi Tanaman Hutan, Solusi atau Bencana?

redaksi

Yang Muda Yang Berbahasa Daerah!

redaksi