
Oleh: Alya Nayla Sahirah S.
Suara USU, Medan. Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Maret 2025 telah memicu luapan protes dari berbagai elemen masyarakat, terutama organisasi masyarakat sipil dan aktivis perempuan. Revisi ini dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi, supremasi sipil, serta hak-hak perempuan di Indonesia. Pasal 47, yang memperbolehkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga negara, menjadi sorotan utama dalam revisi ini. Ketentuan tersebut tidak hanya menghidupkan kembali bayang-bayang Dwifungsi ABRI ala Orde Baru, tetapi juga memperparah ketimpangan gender dan memperkuat relasi kekuasaan yang bias terhadap perempuan.
Dampak dari revisi UU TNI ini tidak bisa dipandang sebelah. Di tengah perjuangan panjang untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan birokrasi, kebijakan ini justru membuka jalan bagi dominasi militer dalam jabatan sipil, yang dapat menyingkirkan perempuan dari posisi kepemimpinan. Sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar pengangkatan jabatan strategis beresiko terkikis, karena kehadiran prajurit aktif dalam birokrasi sipil akan menciptakan persaingan yang tidak adil, terutama bagi perempuan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan semakin banyaknya posisi yang dapat diisi oleh prajurit TNI, perempuan yang telah bekerja keras dan berkompetisi dalam jalur birokrasi sipil bisa semakin terpinggirkan, dan memperburuk ketimpangan dalam akses terhadap jabatan tinggi di pemerintahan.
Selain itu, institusi militer yang selama ini lebih mengedepankan disiplin dan kepatuhan dikhawatirkan akan membawa struktur hierarkisnya ke dalam birokrasi sipil. Hal ini berpotensi menciptakan lingkungan kerja yang semakin maskulin dan kurang inklusif bagi perempuan. Birokrasi yang diwarnai oleh nilai-nilai militerisme cenderung kurang peka terhadap isu kesetaraan gender, sehingga berbagai kebijakan yang dihasilkan pun bisa saja mengabaikan perspektif dan kebutuhan perempuan.
Tidak hanya dalam ranah birokrasi, revisi ini juga berpotensi memperburuk kondisi sosial perempuan di daerah konflik. Seperti yang dicatat dalam sejarah bahwa keterlibatan militer dalam konflik agraria, misalnya yang terjadi di Rempang dan Merauke, sering kali diiringi dengan tindakan represif terhadap warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Kekerasan berbasis gender dalam konteks militer sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup karena mekanisme akuntabilitas dalam institusi ini cenderung tertutup.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyatakan bahwa dalam rentang 2020–2024, terdapat setidaknya 190 kasus kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan anggota TNI. Ini mencakup kekerasan domestik, pelecehan seksual, hingga tindakan intimidatif terhadap perempuan yang terlibat dalam advokasi hak asasi manusia. Dengan diperluasnya peran TNI dalam ranah sipil, banyak pihak yang khawatir bahwa angka kekerasan terhadap perempuan akan meningkat, sementara mekanisme perlindungannya masih lemah.
Kehadiran militer di ranah sipil juga dapat menyuburkan budaya impunitas yang telah lama menjadi momok dalam isu keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender. Ketika aparat yang memiliki rekam jejak buruk dalam menangani isu kekerasan terhadap perempuan justru diberikan kewenangan lebih luas di bidang sipil, resiko penegakan hukum yang tidak berpihak pada korban akan semakin besar. Hal ini dapat menciptakan ketakutan bagi korban untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami, sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan akan semakin banyak yang tidak terungkap.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah bagaimana mekanisme peradilan bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran terhadap warga sipil, termasuk perempuan. Dalam sistem hukum saat ini, anggota militer yang melakukan tindak pidana tetap diadili di peradilan militer, bukan di pengadilan umum. Hal ini sering menghambat keadilan bagi korban, karena prosesnya kurang transparan dan akuntabilitasnya lemah.
Kasus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada 1965 menjadi salah satu contoh bagaimana militer bukan hanya pernah menekan gerakan politik sipil, tetapi juga dalam membentuk narasi yang menstigmatisasi perempuan sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Gerwani merupakan organisasi perempuan progresif yang aktif memperjuangkan hak-hak buruh perempuan, reformasi agraria, serta kebebasan politik bagi perempuan. Namun, militer melancarkan kampanye hitam yang menggambarkan Gerwani sebagai kelompok perempuan liar dan tidak bermoral. Ribuan perempuan yang diduga terafiliasi dengan Gerwani ditangkap, disiksa, diperkosa, dan bahkan dibunuh. Mereka yang selamat mengalami diskriminasi berkepanjangan, dicabut hak-haknya, dan dijauhkan dari kehidupan sosial serta politik. Stigmatisasi ini tidak hanya menghancurkan organisasi Gerwani, tetapi juga menanamkan ketakutan yang membuat perempuan enggan untuk berpartisipasi aktif dalam politik dan gerakan sosial.
Indoktrinisasi ibuisme negara juga mulai mengakar kuat di Indonesia sejak era Orde Baru, di mana negara mendefinisikan peran perempuan secara sempit sebagai ibu dan istri yang berfungsi untuk mendukung kepentingan negara, terutama dalam stabilitas sosial dan ekonomi. Salah satu manifestasi dari ibuisme adalah pembentukan organisasi Dharma Wanita dan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), yang menekankan peran perempuan sebagai pendamping suami dan pengelola rumah tangga, bukan sebagai individu yang memiliki hak politik dan ekonomi yang setara.
Pada era Orde Baru, militer juga berperan besar dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB). TNI tidak hanya bertugas mengawal distribusi alat kontrasepsi, tetapi juga terlibat langsung dalam pemasangan kontrasepsi kepada perempuan, yang sering kali dilakukan tanpa persetujuan penuh dari mereka. Pendekatan koersif ini mencerminkan bagaimana negara, melalui institusi militer dapat mengendalikan tubuh perempuan atas nama kebijakan kependudukan. Dalam beberapa kasus, perempuan dipaksa menggunakan alat kontrasepsi tanpa diberikan informasi yang cukup atau kesempatan untuk membuat keputusan sendiri. Keterlibatan militer dalam isu-isu yang menyangkut tubuh perempuan beresiko mengabaikan prinsip hak asasi manusia, terutama hak perempuan atas informed consent. Jika peran militer terus diperluas di sektor sipil, ada kekhawatiran bahwa alih-alih memastikan akses kesehatan reproduksi, kebijakan semacam ini justru memperkuat kontrol negara atas tubuh perempuan hanya karena struktur komando dan instruksi yang hierarkis.
Kritik terhadap revisi ini juga datang dari akademisi dan pengamat politik. Hussein Ahmad dari Imparsial menegaskan bahwa militerisasi dalam birokrasi sipil dapat menciptakan tekanan tersendiri bagi masyarakat, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan. Ia menyoroti bagaimana pendekatan militeristik dalam konflik agraria sering kali mengabaikan hak-hak perempuan yang terdampak. Misalnya dalam kasus Rempang Eco City, banyak perempuan yang mengalami intimidasi hingga kekerasan fisik akibat keterlibatan aparat keamanan. Jika revisi ini tetap berlaku, maka pola-pola seperti ini berpotensi semakin meluas di berbagai sektor kehidupan sipil.
Bagi perempuan Indonesia, perjuangan menolak revisi UU TNI adalah bagian dari upaya lebih besar untuk mempertahankan hak-hak mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Aktivis dari Aliansi Perempuan Indonesia (API) menegaskan bahwa revisi ini tidak hanya berdampak pada penguasaan jabatan sipil oleh militer, tetapi juga memperkuat relasi kekuasaan yang otoriter dan bias gender. Puluhan aktivis perempuan yang turun ke jalan pada hari pengesahan revisi ini mengecam pemerintah karena mengabaikan prinsip partisipasi masyarakat sipil dalam proses legislasi. Mereka menuntut agar pemerintah membatalkan revisi ini dan memastikan bahwa kebijakan publik tidak lagi dibuat tanpa mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan.
Revisi UU TNI bukan hanya soal penguatan peran militer dalam ranah sipil, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi kehidupan perempuan Indonesia dalam jangka panjang. Jika revisi ini tetap diberlakukan tanpa ada pengawasan ketat dan mekanisme perlindungan yang jelas, maka perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dalam berbagai sektor akan semakin sulit. Dengan segala tantangan yang ada, suara-suara protes yang terus bergema dari berbagai elemen masyarakat membuktikan bahwa harapan untuk keadilan gender belum padam. Kini saatnya pemerintah mendengar suara rakyat dan memastikan bahwa kebijakan publik tidak lagi menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan struktural terhadap perempuan.
Redaktur: Vimelia Hutapea
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts sent to your email.