Oleh: Kurniadi
SUARA USU, Medan. Angga, mahasiswa semester 9 Fakultas Pertanian USU itu terduduk lemas. Sambil memegang kepala dan mengernyitkan dahi, ia berkeluh kesah kepada kami yang juga satu kelasnya di kampus. “Pening kali bah, penelitianku hasilnya nggak sesuai, disuruh ngulang pulak sama doping (dosen pembimbing). Udahlah biayanya nggak sedikit,” keluhnya saat menceritakan duka penelitian akhir.
Jika membandingkan dengan fakultas lain di USU; seperti Fakultas Ekonomi, Kedokteran, atau bahkan Fisip, penelitian akhir mahasiswa pertanianlah agaknya yang paling lama, sulit, dan mengeluarkan biaya banyak. Itulah secercah realita perihal beratnya kuliah di Pertanian USU.
Dalam memoarku sebagai “anak pertanian” juga, kuliah di Pertanian USU itu memang bak makan asam dan garam kehidupan. Selain suka dan duka yang beragam selama perkuliahan, dinamika yang muncul sebab senior di kampus juga tak kalah banyak.
Saat semester satu, setiap pagi selama sebulan kami dikumpulkan di Parkiran Perpustakaan USU. “Kalian semua itu setara dek. Kalian itu Satu. Gak ada perbedaan di sini. Mau yang naik mobil, naik angkot, atau diantar orang tua, tetap harus kumpul di sini. Untuk selanjutnya kalian bareng-bareng jalan ke Fakultas. Karena kalian sama rata sama rasa,” tutur seorang kakak kelas dalam ingatanku.
Kami yang masih “polos” dan “nol” di kampus saat itu, akhirnya cuma bisa manggut-manggut dan mengikuti arahan para senior di kampus. Toh kami rasa kumpul-kumpul begitu ada serunya juga. Bisa ketemu dan kenalan sama mahasiswa jurusan lain di Fakultas Pertanian.
Pukul 07:45 pagi, kami berjalan beriringan menuju kelas sesuai jadwal masing-masing. Dengan baju putih, bawahan hitam, dan kepala botak untuk laki-lakinya, kami berusaha menampilkan senyuman terbaik kepada warga pertanian lainnya. Untuk perihal kepala botak, nyaris selama setahun pertama kuliah kepala botak atau dipangkas pendek jadi seakaan kewajiban maba laki-laki.
Tenyata, proses perkuliahan di kelas yang ada di Fakultas Pertanian juga tak nyaman. Keadaan ruangan kelas membuat panas kepala dan gerah badan. Pelajaran pun menuntut banyak menghafal dengan tugas yang menumpuk. Jangankan berharap dinginnya udara dari AC (Air Conditioner), hembusan angin dari kipas saja masih tak rata. Misal di ruangan 110 dan 111, mereka yang duduk di tengalah yang bisa merasakan sejuknya kipas angin. Sebab di ruangan itu, kipas angin satu saja yang berfungsi. Letaknya di tengah ruangan. Agaknya untuk urusan ini, pihak dekanat perlu segera berbenah.
Karena Petanian termasuk fakultas yang mewajibkan mahasiswanya untuk praktikum, derita selama “nge-lab” juga tak kalah mengenaskan. Selain syarat lab yang memang sulit sebelum masuk, panasnya ruangan lab dan baju lab yang tebal serta berbahan panas melengkapi penderitaan. Ditambah lagi dengan kondisi beberapa asisten lab yang “ngeselin”.
Kadangkala, untuk beberapa materi lab yang mengharuskan praktik langsung juga tak dapat terlaksana. Sebab peralatan dan bahan di Laboratorium Fakultas Pertanian hampir rata tak berfungsi dan tak lengkap. Tenyata, hegemoni soal USU kampus top itu cuma bualan atau mistifikasi otoritas USU belaka. Atau bahkan, penderitaan soal sarana dan prasarana yang tak memadai itu hanya terjadi di “fakultas belakang dan terpinnggirkan?” entahlah.
Selain itu, duka jadi anak pertanian lainnya adalah saat ingin buang air kecil. Mahasiswa Pertanian pasti berpikir dua kali atau seribu kali saat ingin buang air di kamar mandi umum mahasiswa. Di samping baunya yang semerbak mencekik leher, kesediaan air untuk muncul juga enggan tak enggan. Jauh berbanding terbalik jika melihat kamar mandi di ruangan pegawai dan dosen. Bak bumi dan langit. Lengkap sudah keriwetan jadi mahasiswa pertanian. Mulai dari urusan belajar, sosial, tuntutan senioritas, hingga urusan buang hajat.
Kondisi seperti di atas, nyaris berlangsung selama 3 tahun. Dalam kenanganku selama ngampus, tidur 5 jam sehari juga seperti sahabat kami setiap harinya.
Selain beberapa cerita di atas, sebetulnya banyak kisah sulit lain yang jika diceritakan mungkin bisa setebal buku The Black Swan.
Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, agaknya mahasiswa baru Fakultas Pertanian perlu sedikit bernapas lega. Pasalnya, kuliah daring ini membuat mereka sampai saat ini tak perlu merasakan suka duka cerita di atas. Meski sama-sama kita tahu, bahwa kuliah daring juga engga kalah capeknya.
Walaupun demikian, di antara beribu duka, minimal pasti ada satu suka. Misalnya saja soal kehidupan sosial mahasiswa pertanian pra pandemi. Sistem yang ada di pertanian seakaan mengharuskan kami tahan banting, punya empati dan simpati tinggi serta kuat mental tentunya. Hampir setiap mahasiswa pertanian yang berbeda jurusan dan satu stambuk saling mengenal. Mungkin beda cerita dengan mahasiswa baru saat daring yang seperti sekarang ini. Yang bisa jadi dengan satu kelasnya pun belum saling kenal.
Terakhir, semoga pandemi cepat berlalu dan keadaan bisa normal kembali. Agar hal baik dan suka duka jadi mahasiswa pertanian juga dapat dirasakan mahaiswa baru. Dan Fakultas Pertanian juga tambah membaik. Tentunya dengan perubahan sarana, prasarana dan sistem pendidikan yang tambah maju. Karena bagaiamanapun juga, pelajaran terbaik adalah pengalaman merasakan langsung. Salam Perjuangan. Hidup Mahasiswa!
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.