SUARA USU
Opini

Seni Menjilat ala Artis dan Influencer yang Kini Jadi Buzzer Kekuasaan

Oleh: Bunga Dwi Sartika

Suara USU, Medan. Dulu, panggung para selebritas adalah layar kaca dan dunia hiburan. Kini, mereka menemukan panggung baru yang lebih strategis. Panggung yang dirasa mampu memelihara pengaruh mereka, yaitu politik. Tak lagi sekadar bintang di layar, mereka menjadi wajah yang membentuk opini publik, membingkai citra penguasa, dan menggiring persepsi sesuai pesanan. Namun, ketika loyalitas mereka lebih berat kepada kekuasaan daripada kepada kebenaran, apa yang tersisa dari peran mereka sebagai “suara rakyat”?

Di era digital, kekuatan seorang influencer dapat menyaingi media yang selama ini menjadi arus utama. Jika dulu masyarakat mendapatkan informasi dari jurnalis yang berpegang pada kode etik, kini opini publik lebih sering dibentuk oleh mereka yang dikenal bukan karena kepakarannya, melainkan karena jumlah pengikutnya. Masalahnya, banyak dari mereka bukannya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, melainkan menjadi pengeras suara satu arah, mengemas propaganda dalam narasi “optimisme” dan “nasionalisme” yang sulit dibedakan dari manipulasi.

Dalam lanskap politik modern, keberadaan influencer bukan sekadar hiburan, melainkan pilar dalam strategi komunikasi kekuasaan. Laporan dari Oxford Internet Institute mengungkap bahwa pemerintah di berbagai negara semakin sering memanfaatkan influencer untuk membentuk opini publik, baik melalui kampanye terbuka maupun penyebaran narasi subtil. Dari wawancara yang “kebetulan” berpihak hingga unggahan ringan yang tampak spontan tetapi sejatinya telah dikurasi, pesan-pesan politik disampaikan dengan cara yang nyaris tak terdeteksi.

Di Indonesia, fenomena ini semakin nyata. Dari selebritas yang ditunjuk sebagai duta program pemerintah hingga podcaster yang lebih sering menghadirkan satu kubu tanpa keberimbangan. Banyak figur publik kini lebih berfungsi sebagai corong kekuasaan ketimbang pengkritik kebijakan. Tidak sedikit dari mereka yang seolah menihilkan keberadaan masalah sosial dengan narasi “syukurilah yang ada” atau “kita harus optimis,” seakan kritik adalah bentuk ketidaksetiaan terhadap negara.

Fenomena selebritas dan influencer yang berperan sebagai buzzer politik mendapat perhatian serius dari para pakar. Wahyudi Akmaliyah, peneliti LIPI, mengungkap bahwa media sosial telah melahirkan micro-celebrities atau buzzer yang sering kali lebih dipercaya publik dibandingkan akademisi.

“Kehadiran para buzzer ini dapat mengakibatkan tenggelamnya suara pakar di tengah derasnya arus media sosial. Masyarakat cenderung lebih percaya pada seseorang yang mereka anggap relatable dibandingkan akademisi yang berbicara dengan analisis berbasis data,” ujarnya dalam sebuah diskusi di forum Demokrasi Digital.

Hal ini diperparah oleh perbedaan cara komunikasi. Pakar cenderung menyalurkan pendapat mereka melalui media massa atau jurnal ilmiah yang sifatnya formal dan analitis. Sebaliknya, para buzzer berinteraksi langsung dengan pengikutnya di media sosial, menciptakan kedekatan emosional yang membuat opini mereka lebih mudah diterima, meski minim dasar ilmiah.

Salah satu figur yang menonjol dalam fenomena ini adalah Raffi Ahmad. Setelah namanya sempat tercoreng akibat kasus narkoba pada 2013, ia bangkit dan membangun kerajaan bisnis melalui RANS Entertainment. Dengan pengaruh besar di media sosial dan jaringan pertemanan luas, Raffi kini menjadi salah satu figur publik paling strategis bagi pemerintah.

Keterlibatannya dalam politik semakin jelas saat ia menjadi ikon kampanye vaksinasi COVID-19 pada 2021, meski kemudian tersandung skandal pesta tanpa masker. Tak berhenti di situ, Raffi juga aktif mempromosikan program-program pemerintah, dari pembangunan infrastruktur hingga isu ekonomi. Terbaru, perannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni semakin menegaskan kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan.

Salah satu momen yang menuai kritik adalah pernyataannya mengenai viralnya tagar #KaburAjaDulu, yang mencerminkan kekecewaan anak muda terhadap situasi ekonomi dan politik dalam negeri. Bukannya membahas akar permasalahan, Raffi justru menyarankan agar narasi tersebut diganti dengan #PergiMigranPulangJuragan, seolah-olah masalah bisa diselesaikan dengan optimisme belaka.

Pernyataan ini sontak menuai reaksi keras. Banyak yang menilai Raffi kehilangan sensitivitas terhadap realitas sosial. Seorang pengguna media sosial menulis, “Mau dibungkus sepositif apa pun, tetap saja ini usaha untuk mengaburkan fakta bahwa banyak anak muda kehilangan harapan di negeri sendiri.”

Dampaknya, publik mulai mempertanyakan independensi Raffi sebagai figur publik. Apakah ia benar-benar percaya pada pesan yang ia sampaikan? Ataukah ini hanya bagian dari tugasnya sebagai wajah pemerintah? Apakah selebriti sebesar dia masih bisa berbicara sebagai individu, atau kini ia sudah terikat pada kepentingan yang lebih besar?

Selebritas dan influencer bukan sekadar produk industri hiburan, mereka adalah figur publik dengan tanggung jawab sosial yang besar. Mereka memiliki kapasitas untuk menyuarakan kegelisahan masyarakat, memperjuangkan transparansi, dan menghadirkan perspektif kritis terhadap kebijakan yang berjalan. Namun, ketika mereka lebih memilih menjadi alat propaganda dibandingkan penyampai kebenaran, maka mereka telah gagal menjalankan peran fundamentalnya sebagai bagian dari masyarakat sipil.

Masalahnya, dalam sistem politik yang mengandalkan pencitraan, kebenaran sering kali kalah oleh popularitas. Akhirnya, kita tidak lagi hidup dalam ruang diskusi yang sehat, melainkan dalam ekosistem opini yang dikendalikan oleh mereka yang memiliki pengikut terbanyak, bukan yang memiliki pengetahuan mendalam.

Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan selebritas yang memilih jalur ini. Bagaimanapun, loyalitas terhadap penguasa sering kali lebih menguntungkan daripada keberpihakan pada kebenaran. Namun, sebagai masyarakat yang kritis, kita masih memiliki satu kekuatan yang bisa melawan dominasi buzzer, yaitu dengan menanamkan kesadaran.

Kesadaran untuk bertanya, mempertanyakan, dan tidak menelan mentah-mentah segala narasi yang dikemas dengan apik. Karena di balik layar yang penuh glamor dan optimisme milik para selebitas atau influencer, selalu ada kepentingan yang bekerja di dalamnya. Dan tugas kita adalah memastikan bahwa kebenaran tidak tenggelam dalam hiruk-pikuk pencitraan.

Redaktur: Fatimah Roudatul Jannah


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Related posts

Magang Tanpa Dibayar, Menguntungkan atau Merugikan?

redaksi

Kenaikan UKT Secara Nasional, Ada Apa Dengan PTN-BH dan Peraturan Kemendikbud?

redaksi

Sebuah Keputusan MK, Apa Urgensinya?

redaksi