Penulis: Fathan Mubina
Suara USU, Medan. Tok, bunyi palu menandakan usainya gugatan saudara Almas Tsaqibbirru Re A di Mahkamah Konstitusi (MK) hari Senin 16/10. “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf Q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepada daerah’,” Ucap Anwar Usman.
Anomali besar terjadi di Indonesia, sebuah keputusan melayang di ruang sidang suci. Bukan hal yang membingungkan, nyatanya di Indonesia sendiri, keputusan di ruang suci ternodai. Bukan diam-diam, putusan ini disaksikan oleh masyarakat seluruh Indonesia, didengar oleh seluruh kalangan di Indonesia, dirasakan akibatnya oleh Warga Negara Indonesia.
Ada apa? Pertanyaan ini muncul di benak kita, terlebih untuk orang awam yang tidak mengikuti dinamika politik negeri ini.
Almas merupakan pemohon pada putusan MK ini, umurnya baru 23 tahun, seorang mahasiswa. Permohonan Almas ialah meminta MK membatalkan ketentuan Pasal 169 huruf (Q) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur syarat capres/cawapres berusia minimal 40 tahun. Tentu seperti yang kita ketahui saat ini, gugatan ini dikabulkan. MK tidak membatalkan peraturan 40 Tahun, MK menambahkan klausul yang kurang lebih dapat diartikan “seorang kepala daerah dapat ikut dalam kontestasi pemilihan presiden”.
Seorang mahasiswa, mengajukan gugatan, dan dikabulkan oleh MK. Mata Indonesia saat ini sedang tertuju kepada pendaftaran kandidat capres dan cawapres. PDIP mengusung Ganjar sebagai capres mereka. Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan jelas mengusung Prabowo sebagai capres dan koalisi perubahan untuk persatuan (KPP) mengusung duet Anies dan Cak Imin.
Putusan MK menjadi satu hal yang penting untuk seluruh koalisi, terutama KIM. KIM saat ini dapat meresmikan Gibran selaku Walikota Surakarta sebagai cawapres mereka. Gibran yang merupakan ‘anak muda’ sangat digemari dan dikenal oleh kalangan millenial juga tentunya. Lalu dimana letak kesalahannya? MK? Gibran? Putusannya?
Saldi Isra selaku Wakil Ketua MK menjawab, “Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, dimana perubahan terjadi dalam hitungan hari.” Saldi yang merupakan wakil ketua MK saja kebingungan, sebenarnya ada apa?
Mari menganalisis dari pernyataan Saldi. MK tidak pernah merubah pendirian secepat itu, perlu diketahui bahwa sebelum putusan ini diteken, permohonan yang sama telah tiba lebih dulu di ruang suci tersebut, akan tetapi permohonan ditolak, Anwar Usman tidak hadir dalam perkara ini dan diwakilkan oleh Saldi Isra.
“Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar 6,5 tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi, Senin (16/10). Seorang hakim wakil konstitusi saja memiliki pendapat seperti ini, apalagi dengan kita seorang mahasiswa.
Ditinjau-tinjau kembali, apakah merupakan sebuah kesalahan apabila Gibran naik menjadi seorang cawapres? Maka, tidak ada yang salah. Seluruh warga berhak untuk memilih siapa pilihannya, tidak suka dengan Gibran, maka tidak perlu dicoblos apabila ia mencalonkan diri, tidak ada sulitnya bukan?
Bukan hal tersebut yang patut kita perhatikan, sayangnya negeri ini memang terkadang seperti tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Bayangkanlah situasi dimana Gibran terpilih menjadi wapres, maka tidak salah lagi apabila kita sebut Indonesia menjadi negara Monarki. Berkoar-koar mahasiswa negara ini merupakan negara republik, namun tiada arti kalimat tersebut. Faktanya Orang tua dan anak menjadi pemimpin negeri, apalagi namanya kalau bukan dinasti. Ini hanyalah permulaan, bukan tidak mungkin apabila masa depan Indonesia dikuasai oleh keluarga tersebut.
Dinasti politik, dua kata yang sering kita dengar belakangan ini. MK sebagai lembaga negara, dengan mudahnya memberikan jalan bagi dinasti politik, ada apa dengan MK? Bukankah negara kita ini berbentuk republik. Inilah yang perlu dipertanyakan kepada hati nurani 5 orang hakim MK.
Anwar Usman, Daniel Yusmic, M Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, Enny Nurbaningsih. Nama ini merupakan 5 orang yang dapat dipertanyakan nuraninya. 5 hakim ini menyetujui klausul kepala daerah dapat menjadi cawapres. Secara tidak langsung, mereka juga yang akan mempermudah terjadinya Dinasti Politik.
Ada apa? Mengapa keputusan yang sebelumnya ditolak, namun sekarang dikabulkan? Disini sudah memasuki bidang lain yaitu konflik kepentingan. Anwar Usman merupakan adik ipar Presiden Indonesia saat ini. Maka seluruh mata di Indonesia melirik ini, Anwar Usman selaku Ketua MK, memiliki peluang paling besar terjun ke dalam konflik kepentingan. Apapun alasannya, palu sudah diketuk. Menkopolhukam sendiri sudah memberikan pernyataan bahwa keputusan MK merupakan keputusan final, tidak akan ada yang berubah.
Pada akhirnya, kita sebagai seorang mahasiswa tidak dapat ikut langsung mengubah keputusan yang ada, namun, usaha kita dalam membaca, mengerjakan tugas, membuat paper, ujian ialah salah satu bentuk dalam memakmurkan negeri ini di masa yang akan datang kelak. Hanya saja kita perlu menguatkan satu prinsip yang memang sudah terpatri dalam tubuh semua orang, hati kita cenderung kepada kebenaran, maka ikutilah kata hati, mana yang benar ikuti dan mana yang salah tinggalkan. Se-sederhana itu, namun sekelas Hakim di ruang sucipun barangkali telah melupakan kata hati.
Redaktur: Anna Fauziah Pane
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.