Oleh : Iqbal Sholihin Matondang
Suara USU, Medan. Baru-baru ini sedang marak demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai bentuk aspirasi atas kenaikan UKT yang terbilang cukup signifikan di berbagai PTN di Indonesia. Hal ini memberikan tanda tanya besar bagi semua orang, apakah yang menjadi dasar lonjakan kenaikan UKT secara nasional ini? Status PTN-BH dan Permendikbud terbaru selalu menjadi alasan oleh para pemangku kebijakan di kampus atas peristiwa kenaikan ukt ini. Sebenarnya ada apa dengan status PTN-BH dan Permendikbud terbaru ini?
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum atau biasa disingkat dengan PTN-BH merupakan perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah dan berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom. Artinya perguruan tinggi memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga pendidiknya. Pendapatan PTN-BH juga menjadi aset perguruan tinggi itu sendiri yang dipisahkan dari aset negara. Namun, dalam hal penetapan UKT atau tarif pendidikan, perguruan tinggi tetap harus berlandaskan pedoman teknis penetapan tarif yang ditetapkan menteri dan juga wajib berkonsultasi dengan menteri.
Di satu sisi, adanya status PTN-BH pada suatu perguruan tinggi dapat memberikan dampak positif berupa kemerataan perkembangan perguruan tinggi di setiap daerah di Indonesia. Namun, hal ini juga dapat berdampak negatif ketika para pemangku kebijakan di kampus bersikap sewenangnya.
Permendikbud yang disoroti atas kejadian ini yaitu Permendikbud No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional. Permendikbud ini menjadi dasar kenaikan ukt yang signifikan di tiap perguruan tinggi. Angka Standar Biaya Operasional Perguruan Tinggi yang ditetapkan pada Permendikbud No. 2 Tahun 2024 ini dinilai tidak memperhitungkan perbedaan konteks dan kebutuhan antara institusi-institusi perguruan tinggi. Sehingga, hal ini tampak seperti komersialisasi pendidikan.
Dalam hal kasus UKT yang melonjak naik, status PTN-BH dan adanya Permendikbud No. 2 Tahun 2024, memberikan perguruan tinggi-perguruan tinggi ini kelegalan dalam menaikkan angka UKT atau tarif pendidikan pada instansi mereka. Meskipun sebenarnya kenaikan UKT ini boleh-boleh saja, tetapi semestinya harus mempertimbangkan kemampuan finansial mahasiswa dan juga dibarengi dengan perkembangan layanan dan infrastruktur pendidikan yang sejalan juga, bukannya malah timpang sebelah. Oleh sebab itu, dua kebijakan pendidikan ini perlu untuk dievaluasi kembali oleh pemerintah agar pendidikan tinggi dapat dijangkau oleh semua kalangan baik itu bawah, menengah, maupun atas.
Redaktur : Evita Sipahutar
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.